Laman

Tampilkan postingan dengan label Adab dan Akhlaq. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Adab dan Akhlaq. Tampilkan semua postingan

Pengajian Umum di Lumajang bersama Ustadz Syafiq Riza Basalamah

Pengajian Umum di Lumajang bersama Ustadz Syafiq Riza Basalamah
Pengajian Umum di Lumajang bersama Ustadz Syafiq Riza Basalama




Download Mp3


  1. Ust. Syafiq, Duo Serigala, Pengajian umum di masjid Al Huda Lumajang. DOWNLOAD
  2. Ust. Syafiq, Mana Qur'anmu, Pengajian umum badha sholat di masjid Al Huda Lumajang. DOWNLOAD

LARANGAN BERLEBIHAN KETIKA MAKAN

LARANGAN BERLEBIHAN KETIKA MAKAN


🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 06 Jumadal Ūlā 1437 H / 15 Februari 2016 M
👤 Ustadz Firanda Andirja, MA
📗 Kitābul Jāmi' | Bab Zuhud Dan Wara'
🔊 Hadits 09 | Larangan Berlebihan Ketika Makan
⬇ Download audio: https://goo.gl/yLkQbx
~~~~~~~~~

وَعَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم : "مَا مَلأَ ابْنُ آدَمَ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنِ." أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ.

Dari Al Miqdam bin Ma’dikarib radhiyallāhu 'anhu ia berkata: Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 

“Tidaklah anak cucu Adam memenuhi suatu tempat yang lebih buruk daripada perutnya.” 

(HR at Tirmidzi dan ia menghasankannya)
➖➖➖➖➖➖➖

LARANGAN BERLEBIHAN KETIKA MAKAN


بِسْـــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــــــــــم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله 

Kita masuk pada hadits yang ke-9 dalam Bab Zuhud wal Wara'.

Dari shahābat Al Miqdam bin Ma'dikarib radhiyallahu 'anhu beliau berkata: 

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 

مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ 

"Tidaklah anak Adam memenuhi suatu tempat yang lebih buruk daripada perutnya."
(HR Tirmidzi dan dihasankan oleh Al Imām At Tirmidzi)

Hadits ini diikhtilafkan oleh para ulama akan keshahihannya; 

• Sebagian ulama memandang bahwasannya haditsnya terputus dan tidak shahih. 
• Sebagian ulama menghasankan hadits ini.

Adapun maksud dari hadits ini, yaitu bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menjelaskan, 

◆ Seorang Muslim hendaknya tidak makan dengan sekenyang-kenyangnya (sepenuh-penuhnya) tetapi hendaknya dia makan sesuai dengan kebutuhannya. 

Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman: 

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ 

"Makanlah dan minumlah, namun jangan berlebih-lebihan." 
(QS Al A'rāf: 31)

Seseorang tidak dianjurkan untuk makan sampai sekenyang-kenyangnya tapi secukupnya. 

Oleh karenanya, jika seseorang makan sampai perutnya terlalu kenyang, akhirnya: 

✓Menimbulkan rasa malas dalam bergerak. 
✓Bawaannya ingin tidur terus dan tidak ingin beraktifitas. 
✓Sehingga akhirnya otaknya pun buntu (tidak produktif). 

Dan ini tidak diinginkan dalam Islam. 

Islam menginginkan seorang hamba beraktifitas dan produktif, baik dalam masalah dunia maupun dalam masalah ibadah. 

Adaupun kalau sesekali kenyang tidak jadi masalah, sebagaimana dalam hadits disebutkan: 

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah menyuruh Abū Hurairah radhiyallahu ta'ala 'anhu untuk minum susu kemudian Abū Hurairah minum lagi, disuruh terus minum lagi sampai akhirnya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 

"Minumlah, wahai Abū Hurairah."

Abū Hurairah berkata: 

والذي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ ، مَا أَجِدُ لَهُ مَسْلَكًا

"Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak mendapati jalur lagi dalam perutku."
(HR Al Bukhāri no. 5971)

⇒ Artinya perut Abū Hurairah radhiyallāhu Ta'āla 'anhu sudah benar-benar full. 

Para ulama berdalil dengannya bahwasannya sesekali seseorang (boleh) kenyang. 

⇒ Kalau mungkin kebetulan ada makanan yang enak atau diundang oleh seorang yang ingin dia hormati, maka dia makan dengan kenyang, tidak jadi masalah. 

Tetapi yang menjadi masalah adalah kalau terus-terusan (setiap kali) makan selalu kekenyangan, kalau kenyang saja tidak menjadi masalah. 

⇒ Selalu kekenyangan, maka ini tidak benar dan akhirnya menimbulkan: 

✓Kemalasan dalam beribadah
✓Syahwat
✓Dan banyak hal-hal yang disebutkan oleh para ulama. 

Ingat firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla, "Makan dan minumlah, namun jangan berlebih-lebihan."

Ikhwan dan akhwat yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, 

Kita di zaman sekarang ini diberikan kenikmatan yang luar biasa; kemudahan makanan dengan berbagai jenisnya.

Silahkan seseorang menikmati kenikmatan tersebut, hukum asalnya boleh. 

Namun yang dilarang adalah berlebih-lebihan; dari sisi tidak boleh kekenyangan dan dari sisi terlalu sibuk mencari makanan yang istilahnya adalah Wisata Kuliner.

Sesekali saja tidak apa-apa, tetapi (jangan) sampai dijadikan suatu perkara yang terus-terusan (yang) setiap makan harus di restoran sana, harus di restoran sini, sehingga: 

✓Waktu habis untuk mencari restoran-restoran tersebut. 
✓Uang habis karena harus membeli makanan-makanan yang mewah dan mahal. 

Saya katakan hukum asalnya boleh memakan makanan yang lezat, sesekali kenyang tidak jadi masalah. 

Yang dilarang oleh syariat adalah berlebih-lebihan; terus-terusan kekenyangan, terus-terusan wisata kuliner. 

Ini yang disebut dengan berlebih-lebihan (sedangkan) agama Islam menginginkan suatu yang pertengahan.

خَيْرُ الْأُمُوْرِ أَوْسَطُهَا 

"Dan sebaik-baik urusan adalah yang tengah."

(Hadits mauquf) 

والله أعلم بالصواب
__________________________ 
📦 Donasi Operasional & Pengembangan Dakwah Group Bimbingan Islam 
| Bank Mandiri Syariah 
| Kode Bank 451
| No. Rek : 7103000507 
| A.N : YPWA Bimbingan Islam 
| Konfirmasi Transfer : +628-222-333-4004

🌐 Website:  
http://www.bimbinganislam.com
👥 Facebook Page:  
Fb.com/TausiyahBimbinganIslam
📣 Telegram Channel: 
http://goo.gl/4n0rNp
📺 TV Channel: 
http://BimbinganIslam.tv

BAGAIMANA BERBAKTI KEPADA ORANG TUA YANG TELAH MENINGGAL DUNIA ?

📚 BAGAIMANA BERBAKTI KEPADA ORANG TUA YANG TELAH MENINGGAL DUNIA ?

1⃣ Mendo’akannya.

Selalu Mendo’akan kedua Orang Tuanya. Seperti Do’a

رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ

”…Wahai Rabb kami, ampunilah aku dan kedua Ibu-bapakku, dan semua orang yang beriman pada hari diadakannya perhitungan (hari Kiamat)..”

[QS.Ibrahim: 41].

Terdapat Hadits yang Shahih, bahwasannya setiap anak Adam jika Meninggal Dunia, maka Terputuslah Amalnya Kecuali (salah satu diantaranya) adalah :

”Do’a anak yang Shalih…”.

Kenapa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan “Anak yang Shalih..”??

Para Ulama Menyebutkan bahwasannya,....
Hanya Anak yang Shalih-lah yang Pasti men-Do’akan orang tuanya yang telah Meninggal.

Karena, bagaimana bisa bagi anak yang Pendosa (Durhaka) mendo’akan orang tuanya, sedangkan untuk mendo’akan diri sendirinya dia Sulit, dikarenakan dia sering bergelimang didalam Kemaksiatan (Dosa)..?? Wal ‘iayadzubillaah.

Mendo’akan orang tuanya dengan Tata Cara yang telah di Syariatkan oleh Agama. Bukan dengan tata cara yang di-ada-adakan seperti Perbuatan Bid’ah.

📌 Contohnya :

➖Membaca al Qur’an dikuburannya,
➖Membuat dan melakukan Ritual-ritual Bid’ah seperti selamatan kematian 

Jelas ini Perbuatan yang baru dan mengada-ada didalam Ajaran Islam yang Wajib kita Tinggalkan..

Dan Bukan dengan ber-Do’a dengan tata cara yang bukan dari Islam (Melainkan dari Ajaran agama Hindu) seperti :

➖ Acara2x Selametan Kematian pada hari 1-7, 40 hari, 100 hari setahun atau 1000 hari.. Jelas ini adalah hal yang diada-adakan..

Tidak pernah di Syari’atkan oleh Agama ini (tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan juga tidak pernah di Amalkan oleh para Shahabat..

Wajib ditinggalkan dan di Ingkari.. Karena ini Merupakan perbuatan Bid’ah.
Dan setiap Bid’ah itu Sesat walaupun banyak orang Menyangka Baik (Hasanah).

Kalau-lah Perbuatan (Amalan ini) Baik dan membawa Kebaikan, PASTI mereka (para Sahabat Nabi dan para Tabi’in) Mendahului kita dalam Mengamalkannya.

2⃣ Selalu Memintakan Ampun untuk Keduanya.

Anak yang Shalih adalah anak yang Selalu Memintakan Ampunan untuk Orang tuanya (baik mereka belum Meninggal ataupun sesudah Meninggal) didalam Sholatnya atau Waktu-waktu yang di Syari’atkan (waktu-waktu yang Mustajab/Do’a2x yang akan dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala).

3⃣ Membayarkan Hutang-hutangnya.

Membayar Hutang-Hutang mereka, jika pada masa hidupnya mereka mempumyai Hutang kepada orang lain, karena Hutang yang belum terbayar ketika seseorang meninggal akan memberatkan orang tua kita di hadapan Allah Ta’ala kelak.

4⃣ Menunaikan janji dan wasiat kedua orang tua yang belum terpenuhi semasa hidup mereka, dan melanjutkan amal-amal baik yang pernah mereka kerjakan selama hidup mereka.

Sebab, pahala akan terus mengalir kepada mereka berdua apabila amal baik tersebut dilanjutkan.

Hanya Melaksanakan Wasiat Orang tua yang sesuai Syari’at dan Tidak Perlu menjalankan Wasiat mereka yang bertentangan dengan Syari’at.

Atau tidak perlu Menjalankan Wasiat orang Tua kita yang jika dijalankan Wasiat itu tidak ada Masylahatnya, bahkan banyak Mudhorotnya (Menyusahkan) kita.

5⃣ Menyambung tali silaturrahim dengan kerabat Ibu dan Ayah.

💠 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Barang siapa yang ingin menyambung silaturrahim ayahnya yang ada dikuburannya, maka sambunglah tali silaturrahim dengan saudara-saudara ayahnya setelah ia meninggal”.

(HR. Ibnu Hibban).

📖 Selengkapnya :
Buku Birrul Walidain (Berbakti kepada Orang Tua)/Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas/Pustaka At Taqwa Bogor

✒ Editor : Admin MDS

♻ Raih amal shalih dengan menyebarkan kiriman ini , semoga bermanfaat. Jazakumullahu khoiron.

●┈»̶•̵̌✽ஜ۩۞۩ஜ✽•̵̌«̶┈●
📮Join Channel @MuliaDenganSunnah di Telegram : https://goo.gl/X2h0P7
 FB : https://www.facebook.com/mulia.dengan.sunnah
📚 WA MULIA DENGAN SUNNAH
 081381173870 Admin

Adab Islami sebelum tidur

ADAB ISLAMI SEDERHANA SEBELUM TIDUR

🍃 Adab islami sebelum tidur yang seharusnya tidak ditinggalkan oleh seorang muslim adalah sebagai berikut :

👉 Pertama, Tidurlah dalam keadaan berwudhu.

Hal ini berdasarkan hadits Al Baro’ bin ‘Azib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلاَةِ ، ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ الأَيْمَنِ

“Jika kamu mendatangi tempat tidurmu maka wudhulah seperti wudhu untuk shalat, lalu berbaringlah pada sisi kanan badanmu”

(HR. Bukhari no. 247 dan Muslim no. 2710)

👉 Kedua, Tidur berbaring pada sisi kanan.

Hal ini berdasarkan hadits di atas. Adapun manfaatnya sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim,

“Tidur berbaring pada sisi kanan dianjurkan dalam Islam agar seseorang tidak kesusahan untuk bangun shalat malam. Tidur pada sisi kanan lebih bermanfaat pada jantung. Sedangkan tidur pada sisi kiri berguna bagi badan (namun membuat seseorang semakin malas)”

(Zaadul Ma’ad, 1/321-322).

👉 Ketiga, Meniup kedua telapak tangan sambil membaca surat Al Ikhlash, surat Al Falaq, dan surat An Naas, masing-masing sekali.

➡ Setelah itu mengusap kedua tangan tersebut ke wajah dan bagian tubuh yang dapat dijangkau. Hal ini dilakukan sebanyak tiga kali.

➡ Inilah yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dikatakan oleh istrinya ‘Aisyah.

📎 Dari ‘Aisyah, beliau radhiyallahu ‘anha berkata,

كَانَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ كُلَّ لَيْلَةٍ جَمَعَ كَفَّيْهِ ثُمَّ نَفَثَ فِيهِمَا فَقَرَأَ فِيهِمَا ( قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ) وَ ( قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ ) وَ ( قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ) ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا مَا اسْتَطَاعَ مِنْ جَسَدِهِ يَبْدَأُ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ وَوَجْهِهِ وَمَا أَقْبَلَ مِنْ جَسَدِهِ يَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ

“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika berada di tempat tidur di setiap malam, beliau mengumpulkan kedua telapak tangannya lalu kedua telapak tangan tersebut ditiup dan dibacakan ’Qul huwallahu ahad’ (surat Al Ikhlash), ’Qul a’udzu birobbil falaq’ (surat Al Falaq) dan ’Qul a’udzu birobbin naas’ (surat An Naas). Kemudian beliau mengusapkan kedua telapak tangan tadi pada anggota tubuh yang mampu dijangkau dimulai dari kepala, wajah, dan tubuh bagian depan. Beliau melakukan yang demikian sebanyak tiga kali.”

(HR. Bukhari no. 5017)

➡ Membaca Al Qur’an sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini lebih menenangkan hati dan pikiran daripada sekedar mendengarkan alunan musik.

👉 Keempat, Membaca ayat kursi sebelum tidur.

📎 Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata,

وَكَّلَنِى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ ، فَأَتَانِى آتٍ ، فَجَعَلَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ ، فَأَخَذْتُهُ فَقُلْتُ لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – . فَذَكَرَ الْحَدِيثَ فَقَالَ إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِىِّ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ ، وَلاَ يَقْرَبُكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « صَدَقَكَ وَهْوَ كَذُوبٌ ، ذَاكَ شَيْطَانٌ »

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menugaskan aku menjaga harta zakat Ramadhan kemudian ada orang yang datang mencuri makanan namun aku merebutnya kembali, lalu aku katakan, “Aku pasti akan mengadukan kamu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam“.

Lalu Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan suatu hadits berkenaan masalah ini. Selanjutnya orang yang datang kepadanya tadi berkata, “Jika kamu hendak berbaring di atas tempat tidurmu, bacalah ayat Al Kursi karena dengannya kamu selalu dijaga oleh Allah Ta’ala dan syetan tidak akan dapat mendekatimu sampai pagi“. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Benar apa yang dikatakannya padahal dia itu pendusta. Dia itu syetan“.
(HR. Bukhari no. 3275)

👉 Kelima, Membaca do’a sebelum tidur “Bismika allahumma amuutu wa ahyaa”.

📎 Dari Hudzaifah, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ قَالَ « بِاسْمِكَ اللَّهُمَّ أَمُوتُ وَأَحْيَا » . وَإِذَا اسْتَيْقَظَ مِنْ مَنَامِهِ قَالَ « الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا ، وَإِلَيْهِ النُّشُورُ »

“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hendak tidur, beliau mengucapkan: ‘Bismika allahumma amuutu wa ahya (Dengan nama-Mu, Ya Allah aku mati dan aku hidup).’ Dan apabila bangun tidur, beliau mengucapkan: “Alhamdulillahilladzii ahyaana ba’da maa amatana wailaihi nusyur (Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan kepada-Nya lah tempat kembali).”

(HR. Bukhari no. 6324)

🍃 Masih ada beberapa dzikir sebelum tidur lainnya yang tidak kami sebutkan dalam tulisan kali ini. Silakan menelaahnya di buku Hisnul Muslim, Syaikh Sa’id bin Wahf Al Qohthoni.

👉 Keenam, Sebisa mungkin membiasakan tidur di awal malam (tidak sering begadang) jika tidak ada kepentingan yang bermanfaat.

📎 Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.”

(HR. Bukhari no. 568)

📎 Ibnu Baththol menjelaskan,

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat ‘Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama’ah. ‘Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!”

(Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 3/278, Asy Syamilah)

🍃 Semoga kajian kita kali ini bisa kita amalkan. Hanya Allah yang beri taufik.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
_____
📝 www.rumaysho.com

●┈»̶•̵̌✽ஜ۩۞۩ஜ✽•̵̌«̶┈●
📮Join Channel @MuliaDenganSunnah di Telegram : https://goo.gl/X2h0P7
 FB : https://www.facebook.com/mulia.dengan.sunnah
📚 WA MULIA DENGAN SUNNAH
 081381173870 Admin

Adab Sunnah bagi Orang yang Junub Jika Belum Ingin Mandi

Adab Sunnah bagi Orang yang Junub Jika Belum Ingin Mandi

#Mutiara_Sunnah:

⛵Adab Sunnah bagi Orang yang Junub Jika Belum Ingin Mandi🚿

➡ Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ جُنُبًا فَأَرَادَ أَنْ يَأْكُلَ أَوْ يَنَامَ تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ

🛁 "Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam jika sedang junub, lalu beliau ingin makan atau tidur, maka beliau berwudhu terlebih dahulu seperti wudhu beliau untuk sholat.” [HR. Muslim]

══════ ❁✿❁ ══════

➡ Bergabunglah dan Sebarkan Dakwah Sunnah Bersama⤵

📡Markaz Ta’awun Dakwah dan Bimbingan Islam:
📮Join Channel Telegram: http://goo.gl/6bYB1k
📲Gabung Group WA: 08111377787
🌍www.facebook.com/taawundakwah
🌐www.taawundakwah.com
📱PIN BB: 5843BE7E

Doa masuk WC

Doa masuk WC

#Dzikir_dan_Doa (10) dan (11)

🚪DOA MASUK WC🚽

(بِسْمِ اللهِ) اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ

♻ "Bismillaahi Allaahumma inniy a'uudzu bika minal khubutsi wal khobaa-its"

🌴 “Dengan nama Allah. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari godaan setan laki-laki dan perempuan.”

📚 [HR. Al-Bukhari 1/45 dan Muslim 1/283. Tambahan "bismillaah" di awal hadits, menurut riwayat Said bin Manshur, lihat Fathul Baari 1/244]

🚪DOA KELUAR DARI WC🚽

غُفْرَانَكَ

♻ "Ghufroonaka"

🌴 “Aku mohon ampun kepada-Mu.”

📚 [HR. Ashhaabus Sunan, kecuali An-Nasai, beliau meriwayatkan dalam ‘Amalul Yaumi wal Lailah, lihat Takhrij Zaadul Ma’aad 2/387]

══════ ❁✿❁ ══════

➡ Bergabunglah dan Sebarkan Dakwah Sunnah Bersama⤵

📡Markaz Ta’awun Dakwah dan Bimbingan Islam:
📮Join Channel Telegram: http://goo.gl/6bYB1k
📲Gabung Group WA: 08111377787
🌍www.facebook.com/taawundakwah
🌐www.taawundakwah.com
📱PIN BB: 5843BE7E

Keutamaan Silaturahim (Bagian 2)

Sumber :

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 29 Sya'ban 1436 H / 17 Juni 2015 M
👤 Ustadz Firanda Andirja, MA
📗 Kitābul Jāmi' | Bab Al-Birru (Kebaikan) Wa Ash-Shilah (Silaturahim)
🔊 Hadits 1 | Keutamaan Silaturarhīm (bagian 2)
⬇ Download Audio dan Transkrip
🌐 http://goo.gl/iWEn9a
~~~~~~~~~~~~
KEUTAMAAN SILATURRAHĪM (BAGIAN 2)

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رسول الله صلى الله عليه و سلم: مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ (أخرجه البخاري)

Dari Abu Hurairah radhiyallāhu 'anhu berkata: Rasulullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

"Barangsiapa senang untuk dilapangkan rizki dan dipanjangkan umurnya, maka jalinlah tali silaturahim (hubungan antar kerabat)." (HR. Bukhari)
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖

Bismillāhirrahmānirrahīm
Alhamdulillāh wash shalātu was salāmu 'alā Rasūlillāh.

Ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla, pada pertemuan yang lalu telah kita bahas bahwasanya rahīm (kerabat) yang wajib kita silaturrahīm bukan dari keluarga istri atau saudara sepersusuan, akan tapi dari hubungan nasab (darah).

Apakah seluruh orang-orang yang memiliki hubungan darah dengan kita wajib kita sambung silaturrahīm?

Maka dalam hal ini ada 3 pendapat dikalangan para ulama dalam hal ini:

① Pendapat Pertama
Yang wajib untuk disambung silaturrahīm adalah kerabat-kerabat yang memiliki hubungan mahram dengan kita, baik mahram dari sisi laki-laki maupun perempuan.

Contohnya :
· orangtua; ayah merupakan mahram bagi putrinya dan ibu merupakan mahram dari putranya.
· saudara laki-laki dan saudara perempuan, baik sekandung, seayah dan seibu/seibu/seayah.
· kakek dan nenek
· cucu
· al-a'mām (saudara-saudara laki-laki dari bapak)
· al-ammāt (saudara-saudara perempuan dari bapak)
· akhwāl (saudara-saudara laki-laki dari ibu)
· khālāt (bibi-bibi, saudari-saudari perempuan dari ibu)

Oleh karenanya kita perlu mengenal dan perlu pembahasan khusus tentang apa itu mahram.

Ini merupakan pendapat yang masyhur dari Hanafiyyah dan Malikiyyah, dan mereka berdalil dengan suatu hadits :

Dari Abu Hurairah radhiyallāhu Ta'āla 'anhu; Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا ، وَلَا بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا

"Tidak boleh seseorang (tatkala berpoligami kemudian dia) menggabungkan antara seorang wanita dengan tantenya (saudari dari bapaknya) atau dia menikah sekaligus dengan bibi wanita tersebut (saudari dari ibunya)."

Hal ini dilarang oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam karena hal ini bisa memutuskan silaturrahīm antara seorang wanita dengan tantenya atau bibinya.

Kita tahu, hubungan antara seorang wanita dengan tantenya atau bibinya adalah hubungan mahram.

Dari sini, mereka (para ulama)  mengatakan:
"Yang wajib disambung silaturahim adalah yang memiliki hubungan mahram."

Kelaziman dari pendapat ini adalah berarti kalau sepupu tidak wajib kita sambung silaturrahīm karena dia bukan mahram.

Ini pendapat yang agak kuat, karena bagaimana kita (laki-laki) menyambung silaturrahīm dengan sepupu perempuan semantara dia bukan mahram, bagaimana kita (laki-laki) mau mengobrol dengan dia sementara bukan mahram.

② Pendapat Kedua
Yang dimaksud rahīm yang wajib kita sambung yaitu ahli waris (yaitu ahli warisnya kita)

Ini pendapat sebagian fuqaha seperti pendapat:
√ Al-Qadhi'iyyāt dari madzhab Maliki
√ An-Nawawi dari madzhab Syafi'iyyah

Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah ;

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ بِحُسْنِ الصُّحْبَةِ قَالَ: أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أَبُوكَ ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tatkala ditanya oleh seseorang:
"Wahai Rasūlullāh, Siapakah yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya?"

Maka jawaban Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam :
"Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu, kemudian ayahmu, kemudian yang paling dekat denganmu yang paling dekat denganmu." (HR. Muslim)

Mereka (para ulama) memahami:
√ kalimat "ibu dan ayah" merupakan termasuk ahli waris kita
√ kalimat "engkau yang paling dekat" adalah yang paling dekat dari sisi ahli waris.

Namun pendapat ini terbantahkan (kurang kuat) karena 2 sebab :

❶ Sebab pertama:
Karena maksud nabi dengan "yang lebih dekat dengan engkau" tidak hanya difahami hanya ahli waris saja, akan tetapi secara umum, yaitu yang paling dekat kekerabatan/nasab dengan engkau.

Nabi tidak menyebutkan "yang paling dekat" adalah ahli waris maka tidak boleh kita khususkan sesuatu yang umum.

❷ Sebab kedua:
Pendapat ini melazimkan bahwasanya kita tidak perlu menyambung silaturrahīm dengan bibi atau tante, terutama dengan bibi saudara ibu

Karena bibi bukan ahli waris kita, padahal dalam hadits Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan :
الخالة بمنزلة الأم

"Bibi saudari perempuan ibu adalah kedudukannya seperti ibu."
(HR Bukhari Muslim)

Maka wajib bagi kita untuk menyambung silaturrahīm dan berbuat baik sebagaimana berbuat baik kepada ibu padahal bibi secara ahli waris bukan ahli waris.

Oleh karena itu pendapat yang ke-2 ini pendapat yang kurang kuat.

③ Pendapat Ketiga
Seluruh kerabat wajib kita sambung silaturrahīm.

Tergantung, semakin dekat maka semakin wajib, semakin jauh maka semakin kurang kewajibannya. Tapi yang wajib disambung silaturrahīm adalah seluruhnya.

Pendapat ini kurang kuat, kelaziman pendapat ini bahwasanya kita harus wajib berhubungan baik (silaturrahīm) dengan seluruh manusia.

Karena kalau kita parhatikan nashab kita semua akan kembali kepada Nabi Adam, kita seluruhnya merupakan keturunan Nabi Adam dan ibunda kita Hawa.

Kalau begitu caranya, maka seluruh nashab wajib kita berbuat baik, jadi kita harus berbuat baik kepada seluruh manusia.

Oleh karenanya, Allāhu a'lam bish shawāb, pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang pertama.

Bahwasanya yang wajib bagi kita untuk menyambung silaturrahīm adalah yang merupakan mahram kita dan yang selainnya hukumnya sunnah.

Yang mahram adalah wajib kita telpon dan berikan kebaikan kepada mereka.

Adapun selain mereka adalah nomer 2 (sunnah) seperti saudara sepersusuan, saudara istri, kerabat-kerabat yang jauh yang bukan mahram.

Allāhu a'lam bishshwāb, ini adalah khilaf para ulama, agar kita tahu jelas, mana yang lebih utama kita sambung silaturrahīm dan mana yang tingkatan kedua (kurang utama).

Jangan sampai kita mendahulukan yang sunnah (kurang utama) dan meninggalkan yang wajib (utama).

Diantara kesalahan yang sering ditanyakan kepada saya adalah :
"Ustadz, apakah wajib bagi kita untuk berbuat baik kepada mertua sebagaimana berbuat baik kepada ibu kandung?"
Jawabannya: Tidak wajib.

Barangsiapa sengaja berbuat baik kepada mertua sama dengan berbuat baik kepada ibunya maka dia telah menyakiti hati ibunya.

Ibunya (yang telah mengandung dan merawatnya saat kecil) akan merasa sedih tatkala dia disamakan dengan mertuanya.

Mertua tadi bukan termasuk silaturrahīm karena tidak ada hubungan rahim.
Tetapi kita (suami) berbuat baik kepada mertua karena dia dekat dengan istri kita.
Kita (suami) membantu istri berbuat baik kepada ibunya karena istri kita akan mendapat pahala silaturrahīm.

Tetapi dari sisi kita (suami), kewajiban kepada mertua tidak sama dengan kewajiban kepada ibu kandung, sangat berbeda dan sangat jauh. Kepada mertua bukan silaturrahīm, adapun ibu adalah silaturrahīm yang nomor 1.

Ini perlu di camkan bagi pasangan suami istri agar istri tidak menuntut harus sama antara ibunya dengan ibu suaminya, ini tidak boleh.

Suami yang baik adalah tetap berusaha berbuat baik kepada orangtua istrinya dengan membantu istrinya agar bisa bersilaturrahīm dengan ayah dan ibunya.

Wallāhu a'lam bishshawāb.
Assalāmu'alaykum wa rahmatullāh wa barakātuh.
___________________________________
📦 Donasi Pengembangan Dakwah Group Bimbingan Islam
| Bank Mandiri Syariah
| No. Rek : 7103000507
| A.N : YPWA Bimbingan Islam
| Konfirmasi Transfer : +628-222-333-4004

📝 Pendaftaran Group Bimbingan Islam Gelombang 3:
🌐 pendaftaran.bimbinganislam.com

Keutamaan Silaturarhim (bagian 1)

Keutamaan Silaturarhim (bagian 1)
 BimbinganIslam.com
Senin, 27 Sya'ban 1436 H / 15 Juni 2015 M
 Ustadz Firanda Andirja, MA
 Kitābul Jāmi' | Bab Al-Birru (Kebaikan) Wa Ash-Shilah (Silaturahim)
 Hadits 1 | Keutamaan Silaturarhīm (bagian 1)
⬇ Download Audio dan Transkrip
Download File Audio
~~~~~~~~~~~~
KEUTAMAAN SILATURRAHĪM (BAGIAN 1)
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رسول الله صلى الله عليه و سلم: مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ (أخرجه البخاري)
Dari Abu Hurairah radhiyallāhu 'anhu berkata: Rasulullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
"Barangsiapa senang untuk dilapangkan rizki dan dipanjangkan umurnya, maka jalinlah tali silaturahim (hubungan antar kerabat)." (HR. Bukhari)
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
Bismillahirrahmānirrahīm,
Alhamdulillāh, wash shalātu was salāmu 'ala Rasūlillāh.
Ikhwan dan akhwat,
Kita masuk dalam  bab yang baru yaitu bab "Al-Birr wa Ash-Shilah" (berbuat kebaikan dan menyambung silaturahmi)
Sebelum kita membahas hadits-hadits yang berkaitan dengan silaturahmi, ada yang perlu diingatkan.
① Yang pertama.
Banyak orang yang salah menggunakan istilah yaitu menggantikan istilah ziarah dengan silaturahmi.
Seperti tatkala seorang hendak mengunjungi saudara, teman atau ustadznya, dia mengatakan:
"Kita silaturahmi kepada ustadz," atau, "Kita silaturahmi ke rumah teman."
Padahal itu maknanya bukan silaturahmi.
Silaturahmi adalah menyambung kekerabatan.
Padahal kita dengan teman atau ustadz tidak ada hubungan kekerabatan.
Yang benar adalah kita menziarahi ustadz atau teman.
Kenapa demikian?
Karena Allāh dan syari'at membedakan antara "silaturahmi" (menyambung kekerabatan) dan "ziyāratul ikhwān" (mengunjungi teman).
Antara silaturahmi dengan ziarah berbeda, pahalanya juga berbeda.
Masing-masing memiliki kedudukan, akan tetapi silaturahmi memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada sekedar ziarah.
Istilah ini yang sering beredar di tanah air kita yaitu mengganti istilah ziarah dengan silaturahim, padahal ini adalah salah dan harus kita perbaiki.
Silaturahim mendatangkan pahala-pahala yang istimewa sebagaimana nanti dijelaskan.
Di antara pahala silaturahmi, firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla:
وَٱلَّذِينَ يَصِلُونَ مَآ أَمَرَ الله بِهِۦٓ أَن يُوصَلَ
ِ
"Dan orang-orang yang menghubungkan (menyambungkan) apa-apa yang Allāh perintahkan supaya dihubungkan (disambung, yaitu silaturahim) "
(QS: Ar-Ra'du : 21)
Setelah menyebutkan beberapa amalan, lalu Allāh menyebutkan:
أُولَٰئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ
"Bagi mereka kesudahan (tempat tinggal) yang terbaik."
(QS: Ar-Ra'du : 22)
جَنَّٰتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا
"(yaitu) surga ´Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama."
(QS: Ar-Ra'du : 23)
Ini menunjukkan silaturahmi merupakan salah satu amalan yang luar biasa yang meyebabkan seorang bisa masuk surga.
Terlalu banyak hadits yang berkaitan dengan silaturahmi yang menyebutkan keutamaan menyambung silaturahmi dengan ibu, ayah, bibi, dan kerabat-kerabat lain secara umum.
Oleh karenanya jangan disamakan antara "silaturahmi" dengan "ziyāratul ikhwān atau akhwāt".
② Perkara yang kedua.
Apa makna ar-rahim (kerabat) ?
Kepada siapa kita harus bersilaturahmi ?
Kerabat bisa kita klasifikasikan menjadi tiga :
❶ Kerabat dari azhār (keluarga istri). Misal: ipar, mertua dll.
❷ Kerabat dari sepersusuan, misal saudara sepersusuan, kakak sepersusuan, ayah sepersusuan dll.
❸ Kerabat dari nasab, yaitu yang punya hubungan darah, misalnya saudara satu kakek dll.
Mana diantara tiga ini yang kita harus bersilaturahmi ?
Yang dimaksud dengan silaturahmi adalah yang menyambung hubungan karena nasab atau hubungan darah, yaitu yang no.3.
Menyambung (berbuat baik) kepada kerabat istri tidak dinamakan silaturahim, tetapi kita dianjurkan berbuat baik secara umum kepada manusia terlebih lagi yang punya hubungan dengan kita, meskipun bukan hubungan rahim, seperti kakak istri, adik istri, mertua.
Kita berbuat baik kepada mertua atau ipar bukan berarti silaturahim, tapi silaturahim dari sisi istri kita (istri kita yang bersilaturahim).
Kalau kita berbuat baik kepada mertua maka secara zatnya tidak dikatakan silaturahmi, tetapi mudah-mudahan kita mendapat pahala silaturahmi karena kita membantu istri kita untuk bersilaturahmi dengan ayah dan ibunya.
Karena asalnya bukan dari rahim yang sama.
Kemudian, yang berkenaan dengan saudara sepersususan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَحْرُمُ مِنْ الرَّضَاعَ مَا يَحْرُمُ مِنْ النَّسَبِ
“Diharamkan dari persusuan apa-apa yang diharamkan dari nasab.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Yang Rasulullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam maksudkan dalam hadits ini adalah yang berkaitan dengan pernikahan.
Yaitu, yang menjadi mahram karena nasab (hubungan darah), demikian juga sepersusuan bisa menjadikan mahram.
Akan tetapi Rasulullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam TIDAK mengatakan,
يَجِبُ مِنَ الرَّضَاعَ مَا يَجِبُ مِنَ النَّسَبِ
Yang wajib berlaku pada nasab juga berlaku pada sepersusuan.
Seandainya Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam berkata demikian, berarti kita wajib juga bersilaturahmi kepada saudara sepersusuan, akan tetapi Rasulullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tidak mengatakan demikian.
Maka kembali kepada hukum umum yaitu kita berusaha berbuat baik kepada seluruh manusia, terlebih lagi kepada orang-orang yang mempunyai hubungan sepersususan dengan kita, namun dia bukan termasuk dari ayat dan hadits yang memerintahkan silaturahim
Oleh karenanya, yang dimaksud dengan silaturahim adalah menyambung hubungan karena nasab atau darah.
In syā Allāh akan kita jelaskan lebih lanjut pada halaqoh berikutnya.
Assalāmu 'alaikum warahmatullāhi wabarakātuh.
______________________________
Sumber :
 Donasi Pengembangan Dakwah Group Bimbingan Islam
| Bank Mandiri Syariah
| No. Rek : 7103000507
| A.N : YPWA Bimbingan Islam
| Konfirmasi Transfer : +628-222-333-4004
 Saran atau Kritik silahkan sampaikan kepada kami melalui link berikut:
 http://www.bimbinganislam.com/kritikdansaran

Adab-adab memakai sandal Bagian 2

Adab-adab memakai sandal Bagian 2

Sumber :

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 13 Sya'ban 1436 H / 1 Juni 2015 M
👤 Ustadz Firanda Andirja, MA
📗 Kitābul Jāmi' | Bulūghul Marām
🔊 Hadits ke-13 | Adab-Adab Memakai Sandal 2
⬇ Download Audio dan Transkrip
🌐 http://goo.gl/iWEn9a
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
ADAB-ADAB MEMAKAI SANDAL (BAGIAN 2)

بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'ālā, kita masuk pada halaqoh yang ke-16 masih berkaitan dengan adab memakai sandal dari Kitābul Jāmi' Babul Adab.

Al-Hāfizh Ibnu Hajar rahimahullāh membawakan hadits dari Abu Hurairah radhiallāhu Ta'ālā 'anhu, beliau berkata:

َوَعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم : لَا يَمْشِ أَحَدُكُمْ فِي نَعْلٍ وَاحِدَةٍ, وَلْيُنْعِلْهُمَا جَمِيعًا, أَوْ لِيَخْلَعْهُمَا جَمِيعًا (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِمَا)

"Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 'Janganlah salah seorang dari kalian berjalan memakai satu sandal saja, tetapi hendaknya dia memakai sendal kedua-duanya atau dia melepaskannya kedua-duanya'."
(HR Imam Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menjelaskan kepada kita larangan memakai satu sandal.
Hendaknya kita memakai dua-duanya atau melepas kedua-duanya.

Karena disebutkan dalam hadist Rasuluhlah shallallahu 'alaihi wassallam terkadang berjalan dengan tanpa memakai alas kaki.

Ini menunjukkan bahwa sesekali boleh kita berjalan tanpa menggunakan alas kaki sama sekali.

Adapun 'illah (sebab) kenapa kita dilarang memakai satu sandal saja, maka ada beberapa pendapat dikalangan ulama:

① Ada yang mengatakan bahwasannya kita dituntut untuk berbuat adil dalam segala hal termasuk berbuat adil terhadap anggota tubuh kita.

Sehingga kita tidak boleh memakai sandal hanya pada satu kaki, karena berarti kita tidak adil pada kaki yang satunya lagi.

② Ada yang mengatakan jika memakai satu sandal saja maka yang satunya dikhawatirkan akan terkena gangguan, seperti terinjak paku atau terkena duri.

③ Ada juga yang mengatakan bahwa 'illah (sebab)nya karena berjalan dengan satu sandal akan menarik perhatian, sedangkan kita dianjurkan untuk menjauhi "syuhrah", yaitu sesuatu yang bisa menarik perhatian dan menimbulkan ketenaran.

Kalau ketenaran yang disebabkan dengan memakai baju yang bagus yang tampil beda dibandingkan yang lain yang menarik perhatian (libāsusy syuhrah) saja kita dilarang apalagi yang disebabkan dengan hal yang aneh-aneh, seperti kita berjalan dengan satu sandal.

Dan bisa-bisa kita dituduh dengan tuduhan yang tidak-tidak, misalnya orang gila atau orang stress, maka hal ini dilarang oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Islam menjaga adab, Islam menjaga kemuliaan seorang manusia.

④ Sebagian ulama juga mengatakan bahwa diantara 'illah (sebab)nya karena hal ini meniru syaithan.

Dalam hadits yang shahih Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam berkata:

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَمْشِي بِالنَّعْلِ اْلوَاحِدَة.

"Sesungguhnya syaithon berjalan dengan satu sandal saja."

Sebagaimana hal ini diriwayatkan oleh Imam Thahawi dalam Syarah Musykil Atsar dan disebutkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullāh dalam Silsilah Al Hadits Ash Shahihah hadits no. 348)

Kita harus beriman dengan hal ini, bahwasannya syaithan juga memakai sandal dan berjalan dengan satu sandal.

Sebagaimana dalam hadits yang lain yang menyebutkan bahwa syaithan:
• makan dengan tangan kiri
• minum dengan tangan kiri
• memberi dengan tangan kiri
• menerima dengan tangan kiri

Dan kita diperintahkan untuk menyelisihi syaithan.
Kalau kita tahu bahwa syaithan berjalan dengan 1 sandal maka larangan untuk berjalan dengan satu sandal semakin keras.

Ada khilaf (perbedaan pendapat) diantara para ulama terhadap hukum berjalan dengan satu sandal saja, apakah hukumnya haram atau hanya sampai pada derajat makruh saja.

Zhahir hadits ini menunjukkan hukumnya haram, tidak boleh seseorang berjalan dengan satu sandal saja (tapi pakai keduanya atau lepaskan keduanya).

Akan tetapi banyak ulama yang menjelaskan bahwa hukumnya tidak sampai pada derajat haram tetapi hanya makruh.

Sebagian ulama menukil dari ijma' para ulama, seperti Imam Nawawi rahimahullāh Ta'ālā yang mengatakan bahwa ijma' ulama mengatakan hukumnya makruh, demikian juga dengan ulama yang lain.

Dikatakan makruh dan tidak haram karena menurut mereka, di antaranya Imam Nawawi, bahwa ini adalah masalah adab dan pengarahan saja.

Dan segala permasalahan yang berkenaan dengan adab dan pengarahan tidak sampai haram tapi hanya sampai pada derajat makruh.

Adapun Ibnu Hazm Azh-Zhāhiri menyatakan bahwa hukumnya haram.

Wallāhu A'lam bish shawāb, apakah hukumnya haram atau makruh, akan tetapi kita hanya berusaha menjalankan sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, maka kita tidak berjalan dengan menggunakan satu sandal, kita pakai dua-duanya atau kita lepas dua-duanya.

Semua penjelasan di atas dalam kondisi jika kita sedang berjalan.

Bagaimana jika dalam kondisi tidak berjalan? Misalnya sedang duduk kemudian memakai sandal yang kanan dulu kemudian yang kiri.
Ini tidak masalah karena yang dilarang adalah ketika sedang berjalan.

Adapun misalnya kita sedang berdiri dengan satu sandal sementara kaki yang satu lagi belum sempat kita pakaikan sandal/sepatu, maka inipun in syā' Allāh tidak mengapa karena larangan dalam hadits Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam berkaitan dengan seseorang yang sedang berjalan.

Wallāhu Ta'āla a'lam bish shawāb.
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

______________________________

📦 Donasi Pengembangan Dakwah Group Bimbingan Islam
| Bank Mandiri Syariah
| No. Rek : 7103000507
| A.N : YPWA Bimbingan Islam
| Konfirmasi Transfer : +628-222-333-4004

📝 Saran atau Kritik silahkan sampaikan kepada kami melalui link berikut:
🌐 http://www.bimbinganislam.com/kritikdansaran

Adab menulis di Sosial Media

ﺑﺴﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺮﺣﻤﺎﻥ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ .

Diantara tanda-tanda kiamat yang
disebutkan dalam hadits-hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah :

Pena itu akan tersebar, kalau dulu
orang mau nulis itu susah, bahkan
dahulu kita lihat anak-anak muda
mereka kalau menulis itu di tembok- tembok mereka mencurahkan isi hatinya di tembok-tembok.

Ingatlah dengan tersebarnya tulisan- tulisan ini semua dapat menulis dengan HPnya, dengan tabletnya, dia menulis sekehendak hatinya tapi tatkala kita hendak menulis ketahuilah bahwa tulisan kita itu skan di timbang kelak di hari kiamat,

kita akan mendapatkan apa yang kita tulis, di catatan kita, di rapot kita, di buku kita di padang mahsyar nanti maka berusahalah untuk menulis yang bermanfaat..yang engkau akan berbahagia tatkala engkau melihat tulisan itu.

Tatkala engkau ingin berkomentar…mau kasih comment di jejaring sosial dan dimanapun sebelum menulis yang akan dibaca oleh orang banyak dan dicatat oleh malaikat Allah Subhanahu wa ta’ala
Bertanyalah kira-kira tulisan ini ada manfaatnya enggak..?
akan tetapi kalau tidak, urungkan
niatmu, ketika kita masuk ke jejaring sosial seperti facebook, twitter,

kita mendapatkan tulisan-tulisan yang baik, jadilah engkau orang yang memindahkan kebaikan itu kepada orang lain, jangan biarkan kebaikan itu berhenti, di facebookmu atau di
twittermu, jangan..

akan tetapi berusahalah untuk
mengirmkannya ke teman temanmu
karena itu termasuk dakwah kita,

Yang selanjutnya jangan mudah
menebarkan broadcast, kadang kala kita dapat kiriman, seperti berita informasi dari temen kita, yang kita tidak tau kebenarannya banyak oran yang langsung sebarkan kepada orang lain, kalo bisa jangan,

karenakenapa, bisa jadi nanti kita termasuk orang yang menyebarkan
kebohongan. Allahu a’lam

(Oleh Ustadz DR. Syafiq bin Riza
Basalamah hafidzahullah)

Adab-adab Minum

Adab-adab Minum

BimbinganIslam.com
Senin, 6 Sya’ban 1436 H / 25 Mei 2015 M
Ustadz Firanda Andirja, MA
Kitābul Jāmi’ | Bulughul Māram
Hadits ke-11 | Adab-Adab Minum
Download Audio dan Transkrip
http://goo.gl/iWEn9a
~~~~~~~~~~~~~~~~~~

بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Kita masuk pada halaqoh yang ke-13 – ikhwan dan akhawat sekalian yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla – dari Baabul Adab dalam Kitābul Jāmi’ dari Kitab Bulughul Maraam.
Dan kali ini kita akan bahas tentang adab yang berkaitan dengan adab minum.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullāhu Ta’āla membawakan sebuah hadits, beliau berkata yaitu:

وَ عَنْهُ رضي اللّه تعالى عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: لَا يَشْرَبَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ قَائِمًا (أخرجه مسلم)

Yaitu dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: Rasūlullāh -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Janganlah sekali-kali seorang dari kalian minum dalam kondisi berdiri”.
(Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim)

Faidah dari hadits ini, zhahir hadits ini menunjukkan bahwasanya: dilarang seseorang minum dalam kondisi berdiri. Karena dalam kaidah ushul fiqh :

الأصل في النهي التحريم

Bahwasanya hukum asal dalam larangan adalah pengharaman.

Oleh karenanya, sebagian ulama seperti ulama zhahiriyyah, mereka mengambil zhahir hadits ini, mereka mengatakan bahwasanya minum dalam kondisi berdiri hukumnya haram.

Artinya apa? Jika seseorang minum dalam kondisi berdiri maka dia berdosa karena hukumnya haram.

Sementara jumhur ulama (mayoritas ulama), kalau kita katakan jumhur artinya mayoritas. Mayoritas ulama (kebanyakan ulama) membawakan hadits ini pada makna tidak utama. Artinya :
Janganlah salah seorang dari kalian minum dalam kondisi berdiri karena itu tidak utama.
Yang utama seseorang minum dalam kondisi duduk. Akan tetapi, boleh seseorang minum dalam kondisi berdiri.

Mayoritas ulama tatkala berpendapat demikian mereka tidak memandang haramnya minum dalam kondisi berdiri. Mereka hanya memandang ini tidak utama jika seseorang minum dalam kondisi berdiri.

Kenapa? Karena ada dalil-dalil yang lain yang menunjukkan akan bolehnya minum berdiri.

Contohnya seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan juga Imam Muslim, dari Ibnu ‘Abbas -radhiallahu ‘anhuma-, beliau berkata:

سَقَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ زَمْزَمَ فَشَرِبَ وَهُوَ قَائِمٌ

Kata Ibnu ‘Abbas: Aku memberikan kepada Rasūlullāh -shallallahu ‘alaihi wa sallam- air minum dari zamzam maka beliaupun minum air zamzam tersebut dalam kondisi berdiri.

Kemudian hadits yang lain yang juga dalam Shahih Al-Bukhari, dari ‘Ali bin Thalib -radhiallahu ‘anhu- : beliau pernah minum berdiri, beliau diberikan air kemudian minum berdiri tatkala beliau berada di Kuffah. Beliau berkata:

إِنَّ نَاسًا يَكْرَهُ أَحَدُهُمْ أَنْ يَشْرَبَ وَهُوَ قَائِمٌ. وَإِنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَ كَمَا رَأَيْتُمُونِي فَعَلْتُ

“Sesungguhnya orang-orang tidak suka jika salah seorang dari mereka minum dalam kondisi berdiri. Sementara aku pernah melihat Rasūlullāh -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melakukan apa yang pernah kalian liat aku melakukannya.”

Artinya aku pernah melihat Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- minum berdiri sebagaimana kalian sekarang melihat aku minum berdiri.

Ini dijadikan dalil oleh jumhur ulama bahwasanya minum dalam kondisi berdiri hukumnya adalah boleh terutama jika ada kebutuhan.

Ada khilaf di antara para ulama masalah ini tentang bagaimana mengkompromikan 2 model hadits ini. Ada hadits yang menunjukkan larangan, Nabi melarang untuk minum sambil berdiri.

Ada hadits-hadits yang menunjukkan Nabi pernah minum berdiri bahkan dipraktekkan oleh ‘Ali bin Abi Thalib -radhiallahu ‘anhu- dengan minum berdiri.

Maka pendapat yang pertama, mengambil cara nasikh dan mansukh. Kata mereka bahwasanya larangan-larangan yang menunjukkan minum untuk minum berdiri itu datang terakhir, sehingga memansukhkan hadits-hadits yang membolehkan minum berdiri.

Namun tentu ini pendapat yang tidak kuat. Kenapa?

Karena ‘Ali bin Abi Thalib menyampaikan atau mempraktekkan diri minum berdiri tatkala beliau di Kuffah yaitu di masa Khulafaur Rasyidin, setelah wafatnya Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Ini menunjukkan bahwasanya ‘Ali bin Abi Thalib memahami hukum tersebut tidak mansukh.

Demikian juga ada yang berpendapat bahwasanya sebaliknya. Justru hadits-hadits yang melarang minum berdiri dimansukhkan oleh hadits-hadits yang membolehkan untuk minum berdiri.

Akan tetapi 2 pendapat ini tidak kuat karena masalah nasikh dan mansukh butuh dalil yang lebih kuat, butuh dalil mana yang lebih dahulu dan mana yang lebih terakhir. Dan tidak ada dalil yang menunjukkan hal ini semua.

Sebagian ulama juga berpendapat bahwasanya bolehnya minum berdiri hanyalah kekhususan Nabi, kalau kita sebagai umat Nabi tidak boleh minum berdiri. Nabi khusus karena dia pada waktu berbicara melarang minum dia berbicara dengan ucapan, dia mengatakan “Jangan salah seorang dari kalian minum berdiri”. Adapun tatkala beliau minum berdiri adalah praktek, bukan ucapan dan ini menunjukkan boleh minum berdiri adalah kekhususan Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

Ini dibantah juga oleh para ulama. Kalau itu merupakan kekhususan Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- , kenapa dipraktekkan oleh ‘Ali bin Abi Thalib?

Intinya pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur ulama bahwasanya :
Mengkompromikan/menggabungkan antara 2 model hadits ini bahwasanya hadits yang melarang untuk minum berdiri itu dibawakan kepada khilaful awlaa yaitu bahwasanya lebih utama untuk tidak minum berdiri.
Namun boleh untuk minum berdiri berdasarkan dalil-dalil yang membolehkan terutama jika seseorang minum berdiri dalam keadaan hajat, ada kebutuhan, dia mungkin lagi ada keperluan maka perlu berdiri untuk minum, maka ini tidak mengapa.

Para ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla .
Oleh karenanya, kita simpulkan dari pembahasan kita pada kesempatan kali ini bahwasanya sunnahnya seorang minum hendaknya dalam keadaan duduk, dia mendapatkan ganjaran dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Namun jika dia ada keperluan, dia boleh minum dalam keadaan berdiri.

Al-Hafizh Ibnu Hajar pernah berkata:

إذا رُمْتَ تَشْرَبُ فاقْعُـدْ تَفُزْ بِسُنَّةِ صَفْوَةِ أهلِ الحِجـــازِ

Jika kau hendak minum maka minumlah dalam keadaan duduk, maka kau akan mendapatkan pahala sunnahnya Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pemimpin ahlul hijaz.

وقـد صَحَّحُـوا شُرْبَهُ قائِماً ولكنه لبيانِ الجــــــوازْ

Para ulama telah membenarkan Rasūlullāh -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah minum dalam keadaan berdiri akan tetapi beliau minum berdiri tersebut untuk menjelaskan bolehnya minum berdiri.

Jadi kita umat Islam kalau ingin mengikuti sunnah Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- asalnya kita minum dalam keadaan duduk. Namun jika ada keperluan, ada kebutuhan boleh kita minum berdiri sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- .

Demikian.

السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
__________________________
Sumber :
Donasi Pengembangan Dakwah Group Bimbingan Islam
| Bank Mandiri Syariah
| No. Rek : 7103000507
| A.N : YPWA Bimbingan Islam
| Konfirmasi Transfer : +628-222-333-4004

Saran atau Kritik silahkan sampaikan kepada kami melalui link berikut:
http://www.bimbinganislam.com/kritikdansaran

Adab Berpakaian (Hukum Isbal)

Adab Berpakaian (Hukum Isbal)

Sumber :
BimbinganIslam.com
Rabu, 15 Sya’ban 1436 H / 3 Juni 2015 M
Ustadz Firanda Andirja, MA
Kitābul Jāmi’ | Bulūghul Marām
Hadits ke-14 | Adab Berpakaian (Hukum Isbal)
Download Audio dan Transkrip
http://goo.gl/iWEn9a
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
ADAB BERPAKAIAN (HUKUM ISBAL)
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله
Kita masuk pada halaqoh yang ke-17 tentang hukum isbal.
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallāhu Ta’ālā ‘anhumā beliau berkata: Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
َلَا يَنْظُرُ الله إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ (مُتَّفَقٌ عَلَيْه)
“Allāh tidak akan memandang orang yang menggeretkan (menjulurkan pakaiannya hingga terseret) pakaiannya karena sombong.”
(Muttafaqun ‘alaih, HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Lafazh “Tsaub” atau pakaian pada “مَنْ جَرَّثَوْبَهُ ” (orang yang menggeret/menjulurkan sehingga terseret pakaiannya) bermakna umum. Yaitu “kullu mā yulbas” yang artinya “setiap yang dipakai”, mencakup: sarung, celana, jubah atau pakaian apa saja.
Semuanya dilarang untuk dipakai jika panjang dan tergeret/terseret di atas tanah yang dilakukan karena sombong.
Orang yang melakukan demikian tidak akan dilihat oleh Allah.
Dalam riwayat disebutkan “yaumal qiyāmah” (pada hari kiamat), sehingga artinya:
“Allāh tidak akan melihat dia dengan pandangan rahmat (kasih sayang) ada hari kiamat.”
Padahal kita tahu pada hari kiamat, hari yang sangat dahsyat dan mengerikan, seseorang sangat butuh dengan kasih sayang (rahmat) Allāh Subhānahu wa Ta’ālā.
Orang yang isbal karena sombong akan tidak diperdulikan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’ālā.
Ini dalil bahwasanya isbal karena sombong merupakan dosa besar.
Para ulama bersepakat tentang keharamannya jika isbal dilakukan karena sombong. 
Adapun jika isbal dilakukan dengan niat tidak karena sombong, hanya sekedar ikut gaya berpakaian maka ada khilaf di antara para ulama.
Jumhur (mayoritas) ulama mengatakan bahwasanya isbal yang dilakukan tidak karena sombong maka hukumnya makruh, tidak sampai derajat haram.
Karena pengharaman isbal oleh Allāh Subhānahu wa Ta’ālā adalah karena ada ‘illah (sebab) nya, yaitu kesombongan.
Jika ternyata kesombongan tersebut tidak menyertai hati orang yang melakukan isbal maka hukumnya hanya sampai kepada derajat makruh, tidak sampai pada derajat haram.
Dan ini adalah pendapat kebanyakan ulama Syafi’iyyah seperti Imam Syafi’i, Imam Nawawi dan yang lainnya.
Adapun sebagian ulama memandang bahwasanya isbal meskipun tidak karena sombong maka hukumnya haram secara mutlak.
Dan ini merupakan pendapat madzhab Hanbali dan juga dipilih oleh Al Qadhi’iyyat dan Ibnul ‘Arabi dari madzhab Malikiyyah dan juga pendapat Al Hafizh Ibnu Hajar dari madzhab Syafi’iyyah.
Dan ini juga pendapat yang dipilih oleh ulama sekarang seperti Syaikh Al Albani, Syaikh Abdul ‘Aziz Bin Baz dan Syaikh Shalih Al-‘Utsaimin rahimahumullāhu Ta’ālā.
Kalau kita melihat secara dalil, maka dalil-dalil yang mengatakan isbal adalah haram secara mutlak adalah lebih kuat.
Diantara dalilnya adalah:
①  Hadits Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan:
فَإِنَّ وَإِسْبَالَ الإِزَارِ مِنَ الْمَخِيلَةِ
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dan Imam Ahmad dengan sanad yang hasan.
Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan bahwa sesungguhnya isbal adalah termasuk dari kesombongan.
Jadi isbal itu sendiri sudah termasuk kesombongan berdasarkan perkataan Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
② Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam tatkala menegur sebagian sahabat untuk tidak isbal, untuk mengangkat sarung mereka di atas mata kaki, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidak pernah bertanya kepada mereka terlebih dahulu apakah sahabat melakukannya karena sombong atau tidak.
Misalkan, “Kalau kau melakukannya karena sombong maka angkat, kalau tidak karena sombong maka tidak usah angkat.”
Siapa saja ditegur oleh Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
③ Kisah ‘Umar radhiyallāhu Ta’ālā ‘anhu ketika akan meninggal dunia.
Tatkala akan meninggal dunia datang seorang pemuda yang memuji ‘Umar bin Khattab radhiyallāhu Ta’ālā ‘anhu, setelah lelaki tersebut memuji ‘Umar kemudian pergi dan dipanggil lagi oleh ‘Umar. Kemudian ‘Umar berkata:
ارْفَعْ ثَوْبِكَ فَإِنَّهُ أَتْقَى لِرَبِّكَ
“Angkatlah pakaianmu, sesungguhnya (jika engkau tidak isbal) maka itu lebih bertaqwa kepada Rabbmu dan lebih bersih bagi pakaianmu.”
Lihat perkataan ‘Umar radhiyallāhu Ta’ālā ‘anhu dan ‘Umar tidak bertanya, “Engkau melakukannya sombong atau tidak?” Akan tetapi langsung diperintahkan untuk mengangkat pakaiannya oleh ‘Umar bin Khattab radhiyallāhu Ta’ālā ‘anhu.
④ Kemudian diantara dalil bahwasanya isbal haram secara mutlak yaitu tatkala Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan:
مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ مِنْ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ (رواه البخاري (5787))
“Seluruh pakaian yang berada dibawah mata kaki maka di neraka Jahannam.”
Hadits ini dipandang keumumannya bahkan oleh Ummu Salamah radhiyallāhu Ta’ālā ‘anhā (istri Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam).
Tatkala mendengar hadits ini, mereka khawatir kalau wanita terkena juga ancaman ini.
Padahal kita tahu bahwa para wanita tatkala mereka isbal sama sekali bukan karena sombong tetapi karena dalam rangka untuk tertutup aurat mereka, namun mereka khawatir terkena ancaman hadits ini (setiap yang dibawah mata kaki dineraka Jahannam).
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ؟ قَالَ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يُرْخِيْنَ شِبْرًا. فَقَالَتْ: إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ. قَالَ: فَيُرْخِيْنَهُ ذِرَاعًا لا يَزِدْنَ عَلَيْهِ
Maka Ummu Salamah pun menanyakan hal ini kepada Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam sehingga Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengizinkan dengan mengatakan: “Hendaknya mereka menjulurkan rok mereka sehingga dengan panjang 1 jengkal.”
Maka Ummu Salamah masih berkata lagi: “Kalau begitu nanti kaki-kaki mereka akan tersingkap.”
Maka Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengizinkan dia menambah. Kata Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam: “Tambah lagi, julurkanlah sehingga dengan jarak sehasta.”
(HR. At-Tirmidzi no. 1731, kitab Al-Libas, bab Ma Ja’a fi Jarri Dzuyulin Nisa’, diriwayatkan pula oleh selain Tirmidzi, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi)
Ini menunjukkan bagaimana semangatnya para wanita agar kaki-kaki mereka tidak tersingkap sehingga rok mereka dipanjangkan tergeret ditanah dengan panjang sehasta dan tidak boleh lebih lagi daripada ini.
Ini adalah dalil bahwasanya Ummu Salamah memandang isbal haram secara mutlak bahkan mencakup para wanita untuk isbal. Namun datang dalil dari Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang mengecualikan para wanita.
Kalau memang isbal diharamkannya hanya karena sombongmaka para wanita tidak perlu untuk khawatir masuk dalam ancaman tersebut, karena mereka memanjangkan rok mereka bukan karena sombong tapi karena agar tertutup aurat mereka.
Kemudian, para ulama yang menyatakan bahwasanya isbal adalah haram secara mutlak, baik sombong atau tidak sombong, menyebutkan hikmahnya dilarang isbal:
❶ Bahwa ini adalah sikap berlebih-lebihan (israf), seseorang tidak perlu pakai pakaian berlebihan apalagi sampai panjang sampai menjulur ke tanah.
❷ Bisa menyebabkan kotoran mengenai bajunya bisa juga ada kotoran yang lengket pada pakaiannya.
❸ Yang berikutnya adalah ini termasuk pemandangan yang menarik perhatian, orang memakai pakaian kemudian pakaiannya terjulur di tanah maka ini semua diharamkan.
Intinya para ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’ālā, isbal jika dilakukan karena sombong merupakan dosa besar dan ancamannya berat.
Namun jika dilakukan tidak karena sombong maka dia lebih ringan dosanya dan ancamannya pun lebih ringan akan tetapi isbal haram secara mutlak.
Dan para ulama tentunya sepakat bahwasanya di antara sunnah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah memakai pakaian di atas mata kaki baik sarung, celana atau jubah bagi kaum lelaki.
والله تعالى أعلم بالصواب
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
__________________________________
Sumber :
Donasi Pengembangan Dakwah Group Bimbingan Islam
| Bank Mandiri Syariah
| No. Rek : 7103000507
| A.N : YPWA Bimbingan Islam
| Konfirmasi Transfer : +628-222-333-4004
Saran atau Kritik silahkan sampaikan kepada kami melalui link berikut:
http://www.bimbinganislam.com/kritikdansaran