Laman

HADITS 02 ARBA'IN AN-NAWAWIYYAH - PENJELASAN TAUHID AL-ULUHIYYAH (BAGIAN 4 DARI 6)

🌍 BimbinganIslam.com
Kamis, 03 Rabi’ul Akhir 1439 H /21 Desember 2017 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, M.A.
📗 Hadits Arba’in Nawawī
🔊 Hadits Kedua | Penjelasan Tauhid Uluhiyyah (Bagian 04 dari 06)
⬇ Download audio: bit.ly/BiAS-FA-HaditsArbainNawawi-0221
-----------------------------------

*HADITS 02 ARBA'IN AN-NAWAWIYYAH - PENJELASAN TAUHID AL-ULUHIYYAH (BAGIAN 4 DARI 6)*

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
​​​الحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، اللهم صلى عليه وعلى آله وأصحابه وإخوانه

Para shahābat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Para da'i-dai yang menyeru kepada kesyirikan ini memberi syubhat. Mereka mengatakan:

"Wali-wali setelah meninggal dunia, tinggi derajat mereka dan mereka mendengar apa yang kita serukan. Allāh berikan kekuatan kepada mereka untuk mendengar apa yang kita bicarakan dan Allāh maha mampu untuk melakukan segala sesuatu."

Berikut Ini sebagai gambaran untuk membantah syubhat mereka:

Malāikat adalah makhluk-makhluk Allāh yang benar-benar mengatur sebagian alam semesta.

Ada malāikat mengatur hujan, ada malāikat mengatur gunung, ada malāikat mengatur awan, mereka benar-benar malāikat yang ditugaskan oleh Allāh untuk mengatur semua itu sesuai tugasnya.

Apakah boleh tatkala kita ingin agar hujan turun lalu kita mengatakan, "Wahai malāikat penjaga awan turunkan hujan".

Boleh atau tidak?

Padahal mereka benar-benar ngatur hujan.

Kalau seorang mengatakan, "Wahai malāikat gunung, berhentikanlah letusan gunung tersebut."

Ini musyrik atau tidak? Musyrik.

Padahal malāikat tersebut benar-benar mengatur gunung. Seharusnya kalau minta, minta kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Allāh yang akan perintahkan malāikat tersebut.

Kalau kepada malāikat yang benar-benar mengatur gunung saja kita tidak boleh berdo'a kepada malāikat, kalau kepada malāikat yang benar-benar mengatur hujan, tidak boleh kita berdo'a kepada malāikat tersebut. Lalu bagaimana dengan mayat yang dikubur ditanah, yang tidak bisa apa-apa?

Dan sering saya sampaikan, mana akal sehat seseorang tatkala minta kepada mayat, sementara mayat sudah tidak bisa apa-apa.

Dia tidak bisa shalāt kemudian kita  shalātkan dengan melaksanakan shalāt jenazah.

Dia tidak bisa mandi kemudian kita yang mandikan dengan melaksanakan mandi jenazah.

Dia tidak bisa memakai baju maka kita kafankan.

Dan dia tidak bisa masuk rumahnya (kuburnya) kecuali kita yang ngangkut, kemudian kita masukkan dalam kuburannya.

Setelah kita kubur kemudian kita mengatakan, "Mbah, kyai, tolong saya."

Kalau kyainya (bisa) bilang, "Kamu ini bagaimana? Kamu yang mandikan saya, yang shalātkan saya, sekarang minta kepada saya,  saya sudah meninggal."

Kata Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:

 اِذاَ ماَتَ ابْنُ اٰدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ

_“Jika telah meninggal seorang anak 'Ādam terputus amalannya.”_

(Hadīts riwayat Muslim)

Terputus, ini hadīts yang umum. Kecuali ada dalīl yang mengkhususkan.

Oleh karenanya Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam setelah meninggal dunia, tidak ada para shahābat yang datang ke kuburan Nabi, tidak ada. Waktu Nabi meninggal dunia, para shahābat menangis.

Kalau seorang menyangka Nabi meninggal dunia, kemudian masih bisa keluar, masih bisa ngobrol-ngobrol, masih bisa diajak diskusi maka para shahābat tidak perlu menangis karena sewaktu-waktu mereka bisa bertemu dengan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Namun kenyataannya para shahābat menangis dan terlalu banyak kejadian setelah Nabi meninggal dunia.

Kejadian tatkala banyak qura' yang meninggal dunia, kemudian peperangan melawan Musailamah Al Kadzdzab (nabi palsu), kemudian terjadi peperangan melawan orang-orang kāfir, pelebaran, perluasan negeri kaum muslimin, kemudian terjadi perang saudara antara misalnya Āli dan Muawiyah.

Kenapa tidak ada seorang shahābat pun yang datang kepada Nabi kemudian melaporkan?

"Wahai Rasūlullāh, ada keributan, salah paham antara Muawiyah dengan Āli bagaimana?"

Kenapa tidak diskusi dengan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam? Tidak ada sejarahnya.

Oleh karenanya tatkala terjadi musim kemarau di zaman Umar bin Khaththāb radhiyallāhu ta'āla 'anhu, Umar bin Khaththāb radhiyallāhu ta'āla 'anhu tidak berdo'a kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam atau tidak meminta Nabi yang mendo'akan.

Tetapi Umar bin Khaththāb minta kepada pamannya Nabi ('Abbās radhiyallāhu ta'āla 'anhu) yang masih hidup.

Dan kita boleh meminta kepada orang yang masih hidup untuk mendo'akan kita, akan tetapi orang yang sudah meninggal dunia tidak boleh.

Oleh karenanya Umar  mengatakan:

اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ

_"Ya Allah, kami pernah meminta hujan kepada-Mu dengan perantaraan Nabi kami, kemudian Engkau menurunkan hujan kepada kami. Maka sekarang kami memohon kepada-Mu dengan perantaraan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan untuk kami." Anas berkata, "Mereka pun kemudian mendapatkan hujan."_

(HR Bukhari nomor 1010)

==> Yā Allāh, kami dahulu bertawwasul dengan Nabi kami, tatkala ia masih hidup (nabi berdo'a mendo'akan para shahābat). Sekarang Nabi sudah meninggal dunia, sekarang kami bertawwasul dengan do'anya paman Nabi kita ('Abbās radhiyallāhu ta'āla 'anhu).

Kalau seandainya fungsi Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam ketika sudah meninggal dunia sama seperti ketika Nabi masih hidup, kenapa Umar minta bertawwasul kepada paman Nabi yang jauh derajatnya di bawah Nabi. Langsung saja kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Ini menunjukkan seorang yang sudah meninggal dunia statusnya berbeda dengan tatkala dia masih hidup. Tidak boleh disamakan. 

"Apakah sama antara yang hidup dengan yang mati?"

Hanya orang bodoh yang menyamakan orang yang hidup dengam orang  yang mati.

Mereka mengatakan lagi:

Para Nabi, para wali-wali, para syuhadā, mereka hidup tidak mati, Allāh mengatakan, "Mereka hidup."

Memang benar mereka hidup, namun bukan dalam alam dunia. Mereka hidup dalam alam barzakh,  alam tersendiri, tidak bisa diqiyaskan dengan alam dunia.

Oleh karenanya kalau ada seorang wali meninggal dunia, wali yang sangat shālih, kyai yang sangat shālih, maka apakah hartanya boleh diwariskan? Boleh, hartanya boleh diwariskan ke anak dan istrinya.

Kalau seandainya dia masih hidup sebagaimana hidup di dunia, maka tidak boleh diambil hartanya. Namun karena dia sudah meninggal dan dia hidup dalam alam lain, maka hartanya diwariskan. Bahkan istrinya boleh dinikahi bila sudah selesai masa iddahnya.

Apabila ada seorang wali atau kyai mempunyai istri (muda dan cantik) kemudian wali /kyainya meninggal dunia, apakah istri muda ini boleh kita nikahi atau tidak boleh? Jawabannya boleh.

Kalau wali/kyai itu masih hidup tentu tidak boleh, karena wali/kyai itu sudah meninggal dan dia hidup dalam alam yang lain sehingga istrinya boleh kita nikahi.

Oleh karenanya orang yang menyamakan antara alam ghāib (alam barzakh) dengan alam dunia adalah orang yang tidak mengerti (orang yang jāhil).

Allāh mengatakan, apakah sama antara yang mati dengan yang hidup? Mereka mengatakan: sama. Padahal Allāh mengingkari hal ini.

Oleh karenanya tidak boleh kita meminta-minta kepada mayat.

Demikianlah kajian kita pada kesempatan kali ini, besok in syā Allāh kita lanjutkan lagi biidzillāhi Ta'āla.

وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

🖋Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
______________________