🌍 BimbinganIslam.com
Sabtu, 22 Shafar 1439 H / 11 November 2017 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA
📗 Hadits Arba’in Nawawī
🔊 Hadits Kedua (Bagian 06 dari 06)
⬇ Download audio: bit.ly/BiAS-FA-HaditsArbainNawawi-0206
-----------------------------------
*HADITS 2 (BAGIAN 6 DARI 6)*
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، اللهم صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وأخوانه
Para shahābat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Kita akan melanjutkan pembahasan kita dari kitāb Al Arb'ain An Nawawiyyah, pada kesempatan kali ini kita akan melanjutkan hadīts yang ke-2.
Di antara faedah yang juga bisa diambil dari hadīts ini, bahwasannya seorang terkadang memberi jawaban lebih daripada yang dibutuhkan oleh penanya. Dan ini penting bagi para pengajar.
Kalau kita lihat murid kita bertanya kepada kita dengan suatu pertanyaan dan kita merasa dia butuh juga untuk mengetahui yang lainnya, maka kita beri jawaban lebih dari pada apa yang dia tanyakan.
Oleh karenanya Al Imām Ibnul Qayyim rahimahullāh menyebutkan bahwasannya Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam adalah orang yang dermawan dalam segala hal.
Bahkan dalam memberi jawaban Nabi juga dermawan, tidak pelit.
Jawaban yang diberikan lebih dari pada yang dibutuhkan sebagaimana dalam hadīts yang lainnya (dalam hadīts ini disebutkan dalam riwayat) tatkala Jibrīl mengatakan:
فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ -
_"Kabarkanlah kepada ku tentang hari kiamat."_
Maka Nabi mengatakan, "Yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang bertanya."
Kemudian beliau mengatakan, "Saya akan kabarkan kepada engkau tentang tanda-tandanya."
Maksudnya, "Kalau waktunya saya tidak tahu tapi tanda-tandanya akan saya kabarkan kepada engkau." Langsung dari Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.
Padahal yang ditanya tentang kapan hari kiamat saja.
Demikian juga dalam hadīts yang lain, tatkala Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam ditanya oleh seorang shahābat:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنَ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ مِنْ مَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم " هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ "
_"Yā Rasūlullāh, kami pergi berlabuh di lautan dan kami membawa bekal air sedikit, namun kalau kami berwudhu dengan air tersebut, kami tidak bisa minum, kami akan kehausan, bolehkah kami berwudhu dengan air laut? Sehingga air tawar ini hanya untuk minum"_
_Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menjawaban:_
_"Air laut itu suci dan mensucikan dna bangkainya halal."_
(HR tirmidzi nomor 69)
Apa jawaban Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam?
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menjawaban, "Air laut itu suci dan mensucikan."
√ Bisa untuk digunakan berwudhu,
√ Bisa digunakan untuk mandi junub,
√ Bisa digunakan untuk membersihkan najis.
Air laut itu suci dan mensucikan.
Namun Nabi tidak berhenti pada jawaban tersebut, Nabi tambah lagi jawabannya. Kata Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, "Dan juga bangkainya halal."
Karena Nabi tahu, mereka sedang berjalan di lautan, bisa jadi mereka menemukan ikan yang mati (sudah jadi bangkai).
Dari pada mereka bertanya lagi, Nabi beri jawaban langsung, karena Nabi merasakan mereka perlu dengan ilmu tersebut.
Contohnya lagi tatkala Nabi ditanya dalam hadīts Ibnu 'Umar, "Wahai Rasūlullāh, apa yang boleh dipakai oleh seorang yang sedang ihrām?"
Maka Nabi menjawab dengan menyebutkan apa saja yang tidak bisa dipakai.
Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan, "Seorang ihrām tidak boleh memakai jubah, tidak boleh memakai celana, tidak boleh memakai pakaian yang ditempelkan di pundak dan ada tutup kepalanya, kemudian tidak boleh memakai imamah, surban dan tidak boleh memakai baju yang terkena minyak wangi."
Jadi jawaban Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam di luar dari pertanyaan orang tersebut.
Apa yang dipakai?
Rasūlullāh menjelaskan yang tidak boleh dipakai, karena ini lebih bermanfaat bagi orang yang bertanya.
Demikian juga dipraktekkan oleh Ibnu Umar.
Ibnu 'Umar dalam kisah tadi kita sebutkan di awal hadīts, dia ingin berdalīl tentang orang yang tidak berimān dengan taqdir maka amalannya tidak diterima.
Tetapi Ibnu 'Umar menyebutkan hadīts secara keseluruhan. Dia tidak mengatakan Jibrīl waktu bertanya kepada Muhammad, kabarkanlah kepada ku tentang imān?
Bahwasannya imān adalah berimān kepada Allāh, malāikat-Nya, para rasūlNya, kitāb-kitāb-Nya, berimān kepada hari akhirat dan berimān kepada taqdir.
Bukan cuma itu yang disebutkan oleh Ibnu 'Umar tatkala ingin menjelaskan, tapi dijelaskan seluruhnya. Sejak awal datangnya Jibrīl sampai akhir kisahnya.
Ini menunjukkan bahwasannya seorang guru jika merasa bahwasannya sang murid butuh jawaban yang lebih dari pada yang ditanyakan maka hendaknya dia berikan, jangan dia pelit.
Jangan mengatakan waktu saya terbatas, kalau tahu muridnya sedang perlu maka berikan apa yang diperlukan oleh sang murid.
Tentunya masih panjang, in Syā Allāh kita lanjutkan lagi.
Sampai disini saja yang bisa saya sampaikan.
وبالله التوفيق و الهداية
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
_____________________