Laman

Haji (Bagian 29)

🌍 BimbinganIslam.com
Jum'at, 28 Dzulhijjah 1437 H / 30 September 2016 M
👤 Ustadz Firanda Andirja, MA
📔 Materi Tematik | HAJI (Bagian 29)
⬇ Download Audio: bit.ly/BiAS-FA-Haji-29
-----------------------------------

بسم اللّه الرحمن الرحيم 
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Sahabat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kita masuk pada larangan ihram yang berikutnya, yaitu 

*⑦ Akad Nikah Atau Melamar*

Larangan bagi seseorang yang sedang ihram adalah melakukan akad nikah atau melamar.  Larangan ini berlaku bagi pria maupun wanita yang sedang ihram.

Karena Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

لاَ يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ

_"Tidak boleh seseorang yang sedang ihram menikah, tidak boleh juga menikahkan dan tidak boleh juga melamar."_

(HR Muslim nomor 2522 versi Syarh Muslim nomor 1409)

Maka, tidak boleh dia melaksanakan akad nikah meskipun calon wanitanya tidak sedang ihram.

Demikian juga, dia tidak boleh menikahkan orang lain, tidak boleh jadi wali, atau menjadi perwakilan dari wali untuk melangsungkan akad nikah, ini juga tidak boleh.

Demikian juga tidak boleh dia melamar seorang wanita tatkala dia sedang dalam kondisi ihram.

Karena Allāh Subhānahu wa Ta'āla telah melarang  seseorang yang sedang berihram, kata Allāh Subhānahu wa Ta'āla:

َ فَلَا رَفَثَ

_"Tidak boleh berbuat rafats."_ 

(QS Al Baqarah: 197)

Kita tahu bahwasanya rafats adalah jima' dan perkara-perkara yang mengarah mengantarkan kepada jima'. 

Demikian juga dengan hal-hal yang bisa membawa (mengantarkan) kepada syahwat, semuanya dilarang tatkala ihram.

Oleh karenanya, para ulamā mengatakan bahwa minyak wangi dilarang bagi yang sedang ihram baik laki-laki maupun wanita, karena minyak wangi merupakan salah satu  perkara-perkara yang bisa mengantarkan kepada jima'.

Demikian juga dengan pernikahan dan melamar adalah perkara-perkara yang bisa mengantarkan menjurus kearah sana.

Ada beberapa perkara yang harus kita perhatikan dalam masalah ini. 

⑴ Jika ternyata terjadi akad nikah dari salah seorang calon mempelai yang sedang ihram, entah laki-lakinya atau wanitanya atau walinya, maka akadnya fasiq (tidak sah).

Misalnya :

Calon suami istri sama-sama tidak ihram, lalu menikah akan tetapi wali dari wanita tersebut sedang ihram dan menikahkan putrinya, maka ini tidak sah. 

Kenapa? 

Karena walinya sedang ihram, maka akadnya tidak sah.

Jadi, wali, calon mempelai wanita atau laki-laki kalau salah satunya ada yang ihram maka akadnya fasiq (rusak) dan tidak sah pernikahannya. 

Dan untuk membatalkan pernikahan tersebut tidak perlu dengan cerai karena asalnya pernikahan tersebut tidak sah.

⑵ Jika seseorang akan menikah dan dia dalam kondisi sedang ihram dan dia tidak tahu bahwa menikah dalam kondisi ihram itu tidak boleh, apakah dia berdosa?

Jawaban nya tidak berdosa. Akan tetapi akadnya tidak sah.

Saya ingatkan kembali bahwasanya seorang yang melakukan akad nikah dalam kondisi ihram dan dia sengaja melakukan akad nikah maka dia berdosa karena dia tahu itu larangan.  

Tetapi apakah dia harus membayar denda atau kafarah atau fidyah? 

Jawab nya *TIDAK*, dia cukup beristighfār kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Ini diantaranya larangan ihram yang jika dilanggar tidak perlu membayar fidyah, denda tetapi cukup beristighfār kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

⑶ Jika seandainya dia menikah dalam kondisi ihram kemudian dari pernikahan tersebut melahirkan anak-anak, bagaimana hukum anak-anak tersebut?

Apakah disebut anak zina atau tidak ? 

Jawabannya ini bukan anak-anak zina karena nikah dalam kondisi ihram disebutkan oleh para ulamā dengan nikah subhat.

Dalam kaidah, seluruh pernikahan yang disebutkan dengan nikah subhat maka anak-anaknya adalah anak-anak yang syar'i, tetap dinisbatkan kepada ayahnya. Tetapi nikah tersebut harus terus diulangi lagi (akad nikahnya).

⑷ Apakah seorang yang sedang ihram boleh menjadi saksi atas adanya pernikahan? 

Dzahir dari hadīts tersebut tidak melarang, karena Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam hanya mengatakan:

لاَ يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ
   
_"Tidak boleh seorang muhrim menikah atau menikahkan dan tidak boleh melamar._

Sehingga bila menjadi saksi, dzahirnya tidak mengapa.

⑸ Seandainya ada seorang yang sedang ihram, sebelum hajian orang tersebut menceraikan istrinya, ternyata masa iddah istrinya sudah mau habis.

Sebagaimana diketahui bahwa:

√ Kalau masa iddahnya sudah habis, bila dia ingin kembali kepada istrinya dia harus menikah lagi/akad baru.
√ Kalau dia kembali kepada istrinya di masa iddahnya maka tidak perlu akad nikah.

Sementara dia dalam kondisi ihram, apakah dia boleh kembali kepada istrinya/rujuk kepada istrinya? 

Jawabannya, Boleh!

Karena yang dilarang adalah menikah atau menikahkan atau melamar, adapun kalau kembali kepada istrinya meskipun dalam kondisi ihram maka tidak mengapa.

Dia tinggal telepon istrinya, atau dia angkat (menunjuk) saksi kemudian mengatakan, "Saya telah rujuk kepada istri saya," sehingga kembali lagi pernikahan mereka berdua.

Wallāhu Ta'āla A'lam bish Shawwab.
____________________________
Info Program Cinta Sedekah Bulan ini :
1. Pendirian Rumah Tahfidz di 5 Kota 
2. Membantu Operasional Radio Dakwah di 3 Kota

📦 Salurkan Infaq terbaik anda melalui 
| Bank Syariah Mandiri Cab. Cibubur
| No. Rek : 7814500017 
| A.N : Cinta Sedekah (infaq)
| Konfirmasi Transfer : 
+62878-8145-8000

*_Hidup Berkah dengan Cinta Sedekah_*
🌎www.cintasedekah.org
📺 youtu.be/P8zYPGrLy5Q
------------------------------------------