Laman

Tampilkan postingan dengan label Kitabul Jami' Bab peringatan terhadap akhlak buruk. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kitabul Jami' Bab peringatan terhadap akhlak buruk. Tampilkan semua postingan

LARANGAN MEMPERSULIT ORANG LAIN

LARANGAN MEMPERSULIT ORANG LAIN


🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 10 Jumadil Ūla 1438 H / 07 Februari 2017 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA
📗 Kitābul Jāmi' | Bab Peringatan Terhadap Akhlak-Akhlak Buruk
🔊 Hadits 20 | Larangan Mempersulit Orang Lain
⬇ Download audio: bit.ly/BiAS-FA-Bab04-H20
~~~~~~~

*LARANGAN MEMPERSULIT ORANG LAIN* 


بسم اللّه الرحمن الرحيم 
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله 

Shahābat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, Kita masuk pada hadīts yang ke-20.

وَعَنْ أَبِي صِرْمَةَ - رضى الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -{ مَنْ ضَارَّ مُسْلِمًا ضَارَّهُ اَلله, وَمَنْ شَاقَّ مُسَلِّمًا شَقَّ اَللَّهُ عَلَيْهِ } أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ. 

_Dari shahābat Abi Shirmah radhiyallāhu Ta'āla 'anhu beliau berkata, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:_ 

_"Barangsiapa yang memberi kemudharatan kepada seorang muslim, maka Allāh akan memberi kemudharatan kepadanya, barangsiapa yang merepotkan (menyusahkan) seorang muslim maka Allāh akan menyusahkan dia."_

(Hadīts riwayat Abū Dāwūd nomor 3635, At Tirmidzi nomor 1940 dan dihasankan oleh Imām At Tirmidzi). 

Makna dari hadīts ini tanpa diragukan lagi adalah makna yang benar apalagi ada hadīts-hadīts lain yang menguatkan (semakna) dengan hadīts ini. 

Contohnya seperti hadīts yang shahīh dalam Shahīh Muslim nomor 1828, Nabi pernah berdoa: 

  اَللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ   

_"Ya Allāh, barangsiapa yang mengurusi urusan umatku kemudian dia merepotkan umatku maka susahkanlah dia."_

Hadīts ini menunjukan akan dua perkara penting dalam syari'at, yaitu: 

⑴ Kaedah yang sangat agung:

  الجزاء مماثلا للعمل من جنسه في الخير والشر 

_Bahwasanya balasan sesuai dengan jenis amalan dan ini berlaku dalam kebaikan maupun dalam keburukan._ 

Dan inilah hikmah Allāh Subhānahu wa Ta'āla, Allāh memberikan balasan sesuai dengan apa yang dilakukan oleh seorang hamba. 

⇒Barangsiapa melakulan amalan yang dicintai oleh Allāh, Allāh akan mencintainya, barangsiapa melakukan amalan yang dibenci oleh Allāh, Allah akan membencinya. 

⇒Barangsiapa memudahkan seorang muslim maka Allāh akan mudahkan urusannya di dunia maupun diakhirat. 

⇒Barangsiapa yang menghilangkan penderitaan seorang muslim maka Allāh akan menghilangkan penderitaannya di dunia dan juga di akhirat. 

⇒Barangsiapa seorang hamba membantu seorang hamba untuk memenuhi kebutuhan saudaranya maka Allāh akan membantu untuk memenuhi kebutuhannya. 

Ini semua dalam kebaikan, sebaliknya dalam keburukan pun demikian. 

⇒Barangsiapa memberi kemudharatan kepada seorang muslim maka Allāh akan memberikan kemudharatan kepada dia. 

⇒Barangsiapa membuat makar, maka Allāh akan membuat makar kepada dia

⇒Barangsiapa membuat susah, menimbulkan kesulitan bagi saudaranya maka Allāh akan membuat dia susah juga. 

Ini berlaku dalam segala hal, jadi balasan sesuai dengan perbuatan, ini berlaku pada kebaikan maupun keburukan. 

 ⑵ Kaedah yang sangat agung yang disebutkan para ulamā dengan istilah:
 الضرر يزال 

_Bahwasanya kemudharatan harus dihilangkan._

Dan ini sesuai dengan hadīts yang lain, yang mashyur hadīts hasan, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 

لاضَرَرَ وَلاضِرَارَ

_Tidak boleh memberi kemudharatan sama sekali baik memberi kemudharatan kepada diri sendiri ataupun kepada orang lain._ 

⇒Intinya kemudharatan harus dihilangkan sama sekali. 

Kemudharatan di sini sama dengan hadīts yang sedang kita bahas, "Barangsiapa memberi kemudhatan kepada orang lain, maka Allāh akan memberi kemudharatan kepada dia."

Kemudharatan itu dalam dua bentuk: 

→ Bentuk pertama | Menghalangi mashlahat yang seharusnya diterima oleh orang lain, kemaslahatan dia akhirnya tidak dia dapatkan. 

Berarti kita memberikan kemudharatan kepada dia. 

→ Bentuk kedua | Memberi kemudharatan secara langsung kepada dia, seperti mengganggunya, menyakitinya dan yang lainnya. 

Oleh karenanya hadīts ini umum:

  مَنْ ضَارَّ مُسْلِمًا ضَارَّهُ 

_Barangsiapa memberi kemudharatan kepada seorang muslim yang lain._

Dan berlaku dalam segala hal. 

Apakah memberi kemudharatan yang berkaitan dengan hartanya, jiwanya (tubuhnya), harga dirinya, anaknya, istrinya, orang tuanya semua kemudharatan tidak boleh kita berikan kepada orang lain, berkaitan dengan apapun dia. 

Banyak bentuk-bentuk muamalah (transaksi-transaksi) yang diharāmkan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam karena akan memberikan kemudharatan kepada orang lain.

Seperti Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam melakukan ghisy (penipuan dalam jual beli). Demikian juga an najasy (jual beli) tidak boleh juga seorang jual beli dengan menutupi aib-aib barang yang hendak dijual. Ini semua dilarang. 

Semua perkara yang bisa mendatangkan kemudharatan kepada saudara maka dilarang dalam syari'at berkaitan dengan hadīts ini. 

Demikian pula tatkala seseorang bersyarikat dengan saudaranya dalam jual beli (menjadikan dia patner atau teman dalam jual beli) maka tidak boleh dia memberi kemudharatan kepada patnernya dalam praktek jual beli. 

Demikian juga seorang tidak boleh mengganggu tetangganya baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan, baik secara langsung ataupun tidak langsung. 

Demikian juga tidak boleh seseorang memberi kemudharatan kepada orang yang memberi hutang kepada dia (orang yang telah membantunya) kemudian dia tunda-tunda pembayarannya padahal dia mampu untuk membayarnya. 

Ini semua kemudharatan, dan dilarang dalam syari'at, bahkan tidak boleh seseorang memberi wasiat yang memberi kemudharatan kepada ahli warisnya. 

Oleh karena itu, Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman: 

مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ 

_"Bahwasanya harta waris itu dibagi setelah wasiat yang diwasiatkan (setelah membayar hutang) dengan syarat tidak boleh memberi kemudharatan."_

(QS An Nisā': 12)

Misalnya: 

Seorang sebelum meninggal dia menulis wasiat, dia mengkhususkan sebagian harta kepada sebagian ahli warisnya lebih daripada yang lainnya, maka ini memberi kemudharatan kepada ahli waris yang lain. 

Ini memberi kemudharatan kepada ahlu waris yang lain karena dia khususkan sebagian harta kepada sebagian ahli waris, sementara yang lainnya tidak diberikan. 

Atau dia sengaja mengurangi harta warisan, atau dia memberi wasiat kepada selain ahli waris dalam rangka untuk memberi kemudharatan kepada ahli waris. Ini semua dilarang karena memberi kemudharatan. 

Demikian juga tidak boleh seorang suami memberi kemudharatan kepada istrinya dengan segala bentuk. 

Misalnya: 

Dia menahan istrinya, istrinya tidak dia cerai sehingga istrinya sakit hati dan hidupnya terkatung-katung (seakan-akan tidak memiliki suami). 

Atau istrinya sudah dia cerai kemudian menjelang selesai masa 'iddah kemudian suami tersebut kembali lagi (rujuk lagi) dengan niatnya bukan untuk mengembalikan kemaslahatan pernikahan, namun untuk menyakiti hati mantan istrinya dengan tujuan agar mantan istrinya tidak bisa menikah lagi dengan orang lain. 

Demikian juga jika seorang suami memiliki istri lebih dari satu kemudian dia lebih condong kepada salah satu istrinya, maka ini memberi kemudharatan kepada istri yang lain. Ini semua dilarang. 

Dan diantara kemudharatan yang sangat berat telah kita sebutkan di awal bahwasanya tidak boleh seorang memberi kemudharatan kepada muslim yang lain dalam segala hal, baik yang berkaitan dengan hartanya, jiwanya dan juga berkaitan dengan harga dirinya. 

Diantara kemudharatan yang sangat besar yang sangat mungkin seorang terlupakan yaitu menjatuhkan harga diri orang lain. 

Seorang tatkala mencuri harta orang lain dia tahu bahwa dia telah memberi kemudharatan kepada orang tersebut, atau dia pukul orang lain dan dia tahu dia memberi kemudharatan kepada orang tersebut. 

Tapi kalau dia  menghībah, menjatuhkan atau mengungkap kejelekan orang dan dia merasa dia tidak memberi kemudharatan, padahal itu merupakan kemudharatan yang lebih besar daripada kemudharatan yang berkaitan dengan harta dan jiwa. 

Oleh karenanya sebagaimana seorang penyair pernah berkata: 

جراحات السنان لها إلتئام ولا يلتام ما جرح اللسان

_Bahwasanya luka yang disebabkan sayatan pedang masih bisa diperbaiki (bisa sembuh) akan tetapi luka yang disebabkan oleh sayatan lisan maka susah untuk disembuhkan._

Shahābat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla. 

⇒Jadi seluruh bentuk memberi kemudharatan kepada orang lain maka dilarang. 

Demikian juga Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda dalam hadīts ini: 

  وَمَنْ شَاقَّ مُسَلِّمًا شَقَّ الله عَلَيْهِ

_"Barangsiapa memberatkan seorang muslim maka dia akan diberi keberatan (kesulitan) juga oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla."_

Terutama orang-orang yang bekerja di instansi pemerintah atau yang berkaitan dengan urusan orang banyak, hendaknya dia berusaha untuk bekerja dengan baik agar tidak merepotkan kaum muslimin. 

Urusan yang berkaitan dengan kenegaraan hendaknya dikerjakan dengan baik agar tidak merepotkan orang lain, tapi kalau dia sengaja merepotkan orang lain maka dia akan mendapatkan kerepotan dari Allāh di dunia maupun di akhirat. 

Wallāhu Ta'āla A'lam bish Shawwab.
__________

▪Mari bersama mengambil peran dalam dakwah...
Dengan menjadi Donatur Rutin Program Dakwah Cinta Sedekah

1. Pembangunan & Pengembangan Rumah Tahfizh 
2. Support Radio Dakwah dan Artivisi
3. Membantu Pondok Pesantren Ahlu Sunnah Wal Jamaah di Indonesia

Silakan mendaftar di : 
http://cintasedekah.org/ayo-donasi/

Hidup Berkah dengan Cinta Sedekah
🌎www.cintasedekah.org
👥 https://web.facebook.com/gerakancintasedekah/
📺 youtu.be/P8zYPGrLy5Q

MEMBALAS CELAAN DENGAN YANG SETIMPAL

MEMBALAS CELAAN DENGAN YANG SETIMPAL


🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 09 Jumadil Ūla 1438 H / 06 Februari 2017 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA
📗 Kitābul Jāmi' | Bab Peringatan Terhadap Akhlak-Akhlak Buruk
🔊 Hadits 19 | Membalas Calaan Dengan Yang Setimpal
⬇ Download audio: bit.ly/BiAS-FA-Bab04-H19
~~~~~~~

*MEMBALAS CELAAN DENGAN YANG SETIMPAL*


بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله


Ikhwān dan Akhawāt shahābat BiAS yang di rahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kita masuk dalam pembahasan hadīts yang ke-19.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ :« الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالاَ فَعَلَى الْبَادِئِ مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِى الصَّحِيحِ

_Dari Abū Hurairah berkata, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:_

_"Dua orang yang saling mencaci maki, maka apa yang diucapkan oleh keduanya dosanya kembali kepada yang memulai memaki, selama yang dimaki (dizhalimi) tidak melampaui batas."_

(Hadīts ini riwayat Imām Muslim nomor 2587 dalam shahīhnya)

⇒Oleh karenanya ini adalah hadīts yang shahīh tanpa diragukan lagi.

Kita tahu dalam hadīts ini, الْمُسْتَبَّانِ (dua orang yang mencaci maki), mencaci maki adalah akhlak yang sangat buruk oleh karenanya nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan:

سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِِتَالُهُ كُفْرٌ.

_"Mencaci seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran."_

(Hadīts Riwayat Bukhāri No. 48, Muslim No. 64)

Yang dimaksud dengan cacian adalah perkataan yang buruk atau keji, yang kita lemparkan kepada saudara kita sesama muslim.

Yang terkadang cacian (makian) tersebut bisa menjerumuskan kepada perbuatan yang lebih parah sampai-sampai terjadi perkelahian atau sampai pada pertumpahan darah. Ini semua awalnya dari caci maki diantara sesama muslim.

⇒Intinya bisa menimbulkan fitnah, paling tidak adalah melemparkan perkataan keji dan buruk kepada saudara kita sesama muslim.

Di sini Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menjelaskan الْمُسْتَبَّانِ (dua orang yang saling mencaci maki).

⇒si A mencaci maki si B kemudian si B membalas mencaci maki si A, selama cacian keduanya berimbang, maka seluruh dosa-dosa yang diucapkan oleh keduanya ditanggung si A, karena si A yang pertama kali memulai, dengan syarat si B yang di zhalimi tidak melampaui batas.

Contohnya (misalnya) :

√ Si A mengatakan kepada si B, "Kamu gila (si B gila)." Lalu si B membalas, "Kamu juga gila."

√ Si A mengatakan, "Kamu adalah hewan." Kemudian si B membalasnya, "Kamu juga hewan."

⇒Selama si B tidak melampaui batas si A,  maka seluruh dosanya kembali kepada si A karena dia yang memulai pertama kali mencaci.

Kata nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:

فَعَلَى الْبَادِئِ

_"Maka seluruh dosanya ( مَا قَالاَ) , seluruh yang diucapkan oleh keduanya, dosanya kembali kepada yang memulai."_

Bahkan misalnya si A mengatakan kepada si B, "Kedua orang tuamu kurang ajar." Dan si B membalasnya, "Kedua orang tuamu juga kurang ajar. Ini semua dosanya kembali kepada si A."

Namun jika si B yang dizhalimi melampaui batas, maka lain lagi ceritanya, karena Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memberi syarat seluruh dosanya:

فَعَلَى الْبَادِئِ مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ

_"Seluruh dosanya kembali kepada yang memulai (si A) selama si B yang didzalimi tidak melampaui batas."_

· Kalau si B melampaui batas, contohnya:

√ Si A mengatakan kepada si B, "Kamu anjing." Kemudian si B juga mengatakan, "Kamu juga anjing," tetapi si B menambah misalnya jadi, "Kamu anjing rabies." Anjing rabies ini lebih daripada anjing.

√ Si A mengatakan, "Kamu kurang ajar." Lalu si B membalas, "Kamu juga kurang ajar, bapakmu juga kurang ajar," si B menambah tatkala itu.

Lalu bagaimana kondisi seperti ini?

⇒Ada khilaf diantara para ulamā tentang dosanya lari kemana?

Karena si A yang memulai, namun si B waktu membalas melampaui batas.

Wallāhu a'lam bishawab, sebagian ulamā berpendapat bahwasanya jika si B melampaui batas (melampaui apa yang diucapkan si A) maka kelebihan batasan tersebut dosanya di khususkan bagi si B. Allāh hanya izinkan membalas dengan setimpal.

Kata Allāh Subhānahu wa Ta'āla:

وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِه

_"Jika kalian membalas, maka balaslah setimpal dengan sebagaimana kalian dizhalimi."_

(QS An Nahl: 126)

⇒ Boleh seandainya dia (Si A) bilang anjing maka si B juga bilang anjing atau si A memaki orang tua si B lalu si B membalas memaki dia (si A) ini tidak berdosa, seluruh dosanya kembali kepada yang memulai pertama.

Kapan?

Dengan syarat kita (yang dimaki)  tidak melampui batas.

Tatkala si B (yang dimaki) melampaui batas (misalnya):

√ Si A mencaci si B kemudian si B membalas mencaci si A dan mencaci kedua orang tua si A.
⇒ Maka kelebihan batasan ini, pendapat yang kuat dosanya kembali khusus kepada si B.

Adapun yang setara (sama) maka dosanya kembali kepada yang memulai pertama kali.

Ikhwān dan Akhawāt shahābat BiAS yang di rahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Intinya, seseorang berusaha meninggalkan hal ini dan Allāh membolehkan seseorang untuk membalas yang setimpal dan jangan sekali-kali memulai mencaci.

Kalau ada orang yang mulai duluan mencaci maka kita boleh membalas dengan setimpal dan ini diidzinkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Namun meskipun demikian Allāh memberikan pilihan yang lebih baik, bila ada orang yang mencaci maki maka kita tidak perlu membalas.

Kata Allāh Subhānahu wa Ta'āla:

وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ

_"Kalau kalian membalas, maka balaslah yang setimpal, akan tetapi bila kalian bersabar maka itu lebih baik bagi orang-orang yang bersabar."_

(QS An Nahl: 126)

Allāh Subhānahu wa Ta'āla juga berfirman:

 وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ الله لَكُمْ

_"Maafkan dan ampuni lapangkan dada, apakah engkau tidak ingin diampuni oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla?"

(QS An Nūr: 22)

Allāh juga berfirman:

وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ والله يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

_"Allāh memuji orang-orang yang memaafkan orang lain, dan Allāh mencintai orang-orang yang berbuat ihsan."_

(QS Al 'Imrān: 134)

⇒Orang yang memaafkan orang lain adalah orang yang berbuat ihsan.

Intinya hendaknya seorang muslim itu:

⑴ Menjauhkan lisannya dari mencaci maki, pilih kata-kata yang baik.
⑵ Jadilah seorang muslim yang berakhlak mulia, menjauhkan diri dari kata-kata buruk.

Kalau dia bertemu dengan orang yang memiliki kata-kata yang buruk jangan dilayani, hendaknya menjauh dari orang seperti ini, karena pergaulan akan mempengaruhinya.

Jauhi orang-orang yang suka berkata-kata buruk.

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla menjaga lisan-lisan kita.

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla menghiasi lisan-lisan kita dengan kata-kata yang indah terhadap sesama muslim dan menjauhkan kita dari kata-kata yang buruk terhadap sesama muslim.


Wallāhu Ta'āla a'lam bishawab.
__________

▪Mari bersama mengambil peran dalam dakwah...
Dengan menjadi Donatur Rutin Program Dakwah Cinta Sedekah

1. Pembangunan & Pengembangan Rumah Tahfizh
2. Support Radio Dakwah dan Artivisi
3. Membantu Pondok Pesantren Ahlu Sunnah Wal Jamaah di Indonesia

Silakan mendaftar di :
http://cintasedekah.org/ayo-donasi/

Hidup Berkah dengan Cinta Sedekah
🌎www.cintasedekah.org
👥 https://web.facebook.com/gerakancintasedekah/
📺 youtu.be/P8zYPGrLy5Q
------------------------------------------

Akhlak Yang Buruk dan Al Bukhl/Pelit (Bagian 3)

Akhlak Yang Buruk dan Al Bukhl/Pelit (Bagian 3)



🌍 BimbinganIslam.com
Jum'at, 08 Rabi'ul Akhir 1438 H / 06 Januari 2017 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA
📗 Kitābul Jāmi' | Bab Peringatan Terhadap Akhlak-Akhlak Buruk
🔊 Hadits 18 | Akhlak Yang Buruk dan Al Bukhl/Pelit (Bagian 3/3)
⬇ Download audio: bit.ly/BiAS-FA-Bab04-H18-3
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

AKHLAK YANG BURUK DAN AL BUKHL/PELIT (BAGIAN 3/3)


بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Ikhwān dan Akhwāt sahabat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kita masih masuk dalam penjelasan dari hadits ke-18. Poin berikutnya akan kita bahas yaitu apa definisi dari bukhl (pelit). 

Banyak definisi yang disebutkan oleh para ulama tentang pelit, namun mereka bersepakat pada satu poin yaitu diantara bentuk pelit adalah tidak menunaikan nafkah yang wajib. 

Dia pelit, harusnya dia memberi nafkah ke anak istrinya nama namun kurang dalam memberi nafkah padahal dia mampu. Ini namanya pelit. 

Bahkan sebagian ulama juga menambahkan termasuk nafkah mustahab.

Dia mampu, kita berbicara tentang orang yang mampu.

Bukan orang yang kalau sudah bayar zakat berarti dia sudah tidak pelit.

Dia sudah bayar zakat, alhamdullilah, tapi kenapa dia tidak memberikan kepada tetangganya, kepada orang miskin di depannya, sementara dia mampu?

Maka para ulama juga mengatakan: taksir binnafaqtil mustahabat (kurang dalam memberikan nafkah yang mustahab) padahal dia mampu. Itu juga dikatakan orang yang pelit. 

Demikian juga para ulama menambahkan:

 وآدم توسعة على الأهل والأولاد

_Orang pelit terhadap istri dan anaknya._

Dia mampu tapi tidak memberi kelapangan kepada anak istrinya. 

Oleh karenanya dalam Al Quran Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman: 

لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ الله 

_"Hendaknya seorang yang diberi kelapangan dia berinfak dengan kelapangannya, adapun jika seorang ternyata disempitkan rezekinya maka dia berinfak sesuai kemampuannya."_

(QS Ath Thalāq: 7)

Ada orang kaya raya, kenapa dia pelit kepada anak istrinya?

Harusnya dia memberi kelapangan kepada mereka karena kata Allāh: 

لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ ۖ

_"Hendaknya seorang yang diberi kelapangan dia berinfaq sesuai dengan kelapangannya."_

Namun ingat Ikhwān dan Akhwāt  yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, bukan berarti kalau seseorang agar tidak pelit kemudian dia menghamburkan uang-uang sampai pada tingkatan mubazir, tentunya tidak boleh. 

وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا (*) إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ

_"Janganlah kalian berbuat tabdzir. Sesungguhnya orang yang melakukan tabdzir (mubazir) itu teman-temannya syaithan."_

(QS Al Isrā: 26-27)

==> Karena syaithan ingin kita menghamburkan uang tidak pada tempatnya. 

Makanya Allāh Subhānahu wa Ta'āla menguji ibadurrahman (orang-orang yang dipuji oleh Allāh)  pada surat Al Furqan (ayat 67). Kata Allāh Subhānahu wa Ta'āla diantara ciri mereka: 

وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا

_"Yaitu orang-orang yang takkala mereka berinfaq mereka tidak mubadzir (tidak berlebih-lebihkan, tidak israf) namun juga tidak pelit, tapi mereka diantara keduanya."_

Maka seseorang hendaknya berusaha menghindarkan dirinya dari sifat pelit namun juga jangan sampai terjerumus dalam sikap mubazir. 

Ini yang berkaitan dengan pelit. 

Adapun perangai yang kedua yaitu kata Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam سُوْءٌ خُلُقُ  (akhlak yang buruk). 

Aklak yang buruk itu umum. Segala perkara yang merupakan perangai yang buruk maka hendaknya seorang muslim menjauhkan dirinya terutama yang berkaitan dengan muamalah terhadap orang lain. 

Ingat, kata Allāh Subhānahu wa Ta'āla kepada Rasulullah shallallāhu 'alayhi wa sallam:

وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ 

_"Seandainya Engkau Muhammad adalah seorang yang kasar (perkataannya keras dan kasar) dan hatinya keras, maka orang-orang akan berpaling menjauh darimu."_

(QS Ali Imrān: 159) 

Padahal orang-orang di sini adalah para sahabat, kalau Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam orangnya sikapnya keras dan mulutnya kasar maka para sahabat yang begitu mulia akan lari dari nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam. 

Oleh karenanya, ini menunjukkan bahwasanya di zaman sekarang ini kita sangat butuh untuk berhati lembut dan juga untuk bersikap lemah lembut. Apalagi yang kita hadapi bukanlah orang-orang yang setara dengan para sahabat. 

Maka terutama para da'i, para Ikhwān dan Akhwāt yang mereka menyeru pada sunnah, hendaknya mereka berhias dengan akhlak yang mulia. 

Akhlak yang mulia sangat nampak pada lisan. 

Oleh karenanya seseorang hendaknya berusaha untuk berkata-kata yang lemah lembut, tidak mudah menyakiti hati orang lain dan juga berusaha untuk berakhlak mulia dalam segala hal.

Dan akhlak mulia tentunya, sebagaimana pernah kita jelaskan, bisa diusahakan. 

Akhlak yang buruk bisa ditinggalkan dan akhlak yang baik bisa diusahakan. 

Kata Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam: 

وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ، وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً

_"Barang siapa yang berusaha untuk sabar maka Allah akan menjadikan dia penyabar."_

(HR Bukhari nomor 1469)

Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِى أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ

_"Aku menjamin istana di bagian atas surga bagi orang yang memperindah akhlaknya."_

Berarti akhlak yang indah bisa diusahakan.

Seseorang hendaknya berusaha menghindarkan dirinya dari su'ul khuluq (perangai yang buruk). 

--> Jika seseorang tahu bahwa dirinya pemarah maka dia lawan akhlak tersebut.
--> Jika seseorang tahu dia mulutnya ceplas-ceplos, suka menyakiti orang lain, maka dia lawan akhlak tersebut.
--> Jika seseorang tahu dia pelit, maka dia lawan akhlak tersebut.

Dan berdoa agar Allah menghiaskan kepada dia akhlak yang mulia.

Wallāhu Ta'āla A'lam bishshawab.

Demikian penjelasan kita  tentang hadits ke 18.
____________________________

Mari bersama mengambil peran dalam dakwah...
Dengan menjadi Donatur Rutin Program Dakwah Cinta Sedekah

1. Pembangunan & Pengembangan Rumah Tahfizh 
2. Support Radio Dakwah dan Artivisi
3. Membantu Pondok Pesantren Ahlu Sunnah Wal Jamaah di Indonesia

Silakan mendaftar di : 
http://cintasedekah.org/ayo-donasi/

*Hidup Berkah dengan Cinta Sedekah*
🌎www.cintasedekah.org
👥 https://web.facebook.com/gerakancintasedekah/
📺 youtu.be/P8zYPGrLy5Q
------------------------------------------

Akhlak Yang Buruk dan Al Bukhl/Pelit (Bagian 2)

Akhlak Yang Buruk dan Al Bukhl/Pelit (Bagian 2)

🌍 BimbinganIslam.com
Kamis, 07 Rabi'ul Akhir 1438 H / 05 Januari 2017 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA
📗 Kitābul Jāmi' | Bab Peringatan Terhadap Akhlak-Akhlak Buruk
🔊 Hadits 18 | Akhlak Yang Buruk dan Al Bukhl/Pelit (Bagian 2/3)
⬇ Download audio: bit.ly/BiAS-FA-Bab04-H18-2
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

AKHLAK YANG BURUK DAN AL-BUKHL/PELIT (BAGIAN 2/3)


بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Ikhwān dan Akhwāt sahabat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kita masih melanjutkan bahasan tentang hadits nomor 18 tentang buruknya akhlak yang buruk dan sifat al bukhl (pelit). 

Telah kita sebutkan ayat-ayat yang menjelaskan tentang tercelanya sifat pelit, oleh karenanya Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam berdoa agar terjauhkan dari sifat pelit, seperti doa Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ و الْبُخْلِ 

_"Ya Allāh, aku berlindung kepada Engkau dari sifat penakut dan juga sifat pelit."_

(Riyadush Shalihin, diriwayatkan oleh Imam Bukhari nomor 5893 versi Fathul Bari nomor 6370 dengan lafazh yang berbeda)

Penakut dan pelit adalah perkara yang buruk. Tidak pantas dimiliki seorang mu'min, tidak terkumpulkan di hati seorang mu'min, kenapa?

Karena sifat bukhl itu menunjukkan lemahnya iman seorang. 

Oleh karenanya tidaklah seorang itu bakhil atau tidaklah seorang itu pelit, kecuali jika disertai dengan su'uzhan kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla, dia berburuk sangka kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Dia menyangka kalau harta tersebut dia keluarkan maka hartanya akan berkurang, tidak akan diganti oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Berarti berburuk sangka kepada Allāh dan kurangnya keimanan dia kepada hari akhirat.

Karenanya Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam tatkala menyeru hal-hal yang berkaitan dengan berbuat baik kepada orang lain, Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam mengkaitkan dengan iman kepada Allāh dan hari akhir, contohnya:

  مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ 

_"Barang siapa yang beriman kepada Allāh dan hari akhirat, maka hendaknya dia memuliakan tamunya."_

(HR Muslim nomor 67 versi Syarh Muslim nomor 47)

Memuliakan tamunya butuh biaya: menjamu tamu, membelikan makanan. Kalau orang pelit susah menjamu tamu, dia akan menjamu tamu seadanya. Seharusnya seseorang harus berusaha menjamu tamu dengan sebaik-baiknya. 

Makanya Rasulullah shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan:

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ

_"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat."_

Ini butuh keimanan kepada hari akhirat

Oleh karenanya Rasulullah shallallāhu 'alayhi wa sallam juga mengatakan:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ

_“Sedekah tidaklah mengurangi harta.”_

(HR Muslim nomor 4689 versi Syarh Muslim nomor 2588)

Butuh orang yang imannya kuat untuk meyakini hal ini. Sehingga dia bisa melawan rasa pelitnya. Sehingga dia bisa keluarkan harta di jalan Allāh Subhānahu wa Ta'āla. 

Oleh karena ini orang yang pelit maka terkumpul padanya su'uzhan (berburuk sangka kepada Allāh) Menyangka hartanya tidak akan kembali, kemudian yang kedua kurang beriman terhadap janji-janji Allāh Subhānahu wa Ta'āla. 

Kemudian perkara berikutnya yang disampaikan adalah bakhil.

Sifat bukhl (sifat pelit) ada beberapa bentuknya. Diantara bentuk yang paling nampak adalah bakhil terhadap harta yaitu tidak mau mengeluarkan uang, tidak mau sedekah, tidak mau bantu orang lain. 

Namun sebenarnya pelit itu juga bukan hanya pada harta, bisa juga pelit dengan kedudukan. Dia punya kedudukaan, dia bisa memberi syafaat, bantu orang lain, namun dia tidak mau, dia merasa repot.

Ada juga orang yang pelit dengan waktunya. Dia mungkin tidak punya uang untuk bantu orang lain tapi sebenarnya dia bisa bantu dengan waktu. Menyisihkan waktu dia untuk bantu orang lain. 

Atau juga pelit dengan tenaganya dan lain-lain. 

Pelit itu bentuknya banyak. Diantara bentuk pelit yang buruk adalah pelit dengan ilmu. Karena ada sebagian orang yang mereka punya ilmu namun dia sembunyikan ilmunya, tidak mau disampaikan kepada orang lain. Seakan-akan harus dia yang tahu sendiri ilmu tersebut. 

Ini indikasi bahwasanya orang ini orang yang riya'. Dia ingin tampil beda, ingin disanjung maka ilmunya tidak sebarkan kepada orang lain. 

Kalau seseorang punya ilmu hendaknya dia tidak usah pelit dengan ilmu tersebut. 

Oleh karenanya, disebutkan bahwa Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam itu jawad (sangat dermawan). Dalam segala hal Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dermawan, termasuk diantaranya dermawan dengan ilmu. 

Jika ada orang yang bertanya kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, maka Nabi jelaskan. 

Jika ada yang perlu Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam beritahukan kepada umatnya, maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam beritahukan. 

Demikianlah juga kita dapati para ulama, mereka sangat dermawan dengan ilmu mereka. Bahkan, seperti yang saya diceritakan tentang Syaikh bin Baz hafizhahullāhu Ta'āla, tatkala musim haji, beliau memegang telepon menjawab pertanyaan begitu banyak. Beliau tidak pelit dengan ilmu-ilmu beliau. 

Orang-orang merasa butuh bertanya kepada beliau maka beliau menjawab pertanyaan. Sampai ada Syaikh yang bercerita kepada saya tatkala melihat Syaikh bin Baz, dia pun  merasa kasihan kepada Syaikh bin Baz. Karena begitu waktunya habis, suaranya serak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan kepada beliau. Beliau tidak pelit dengan ilmu. 

Dan orang yang pelit dengan ilmu lebih tercela daripada orang yang pelit dengan harta. Karena kalau orang yang pelit dengan ilmu selain merupakan indikasi riya', juga kita tahu kalau orang yang membagikan ilmunya, ilmunya tidak akan habis bahkan bertambah, semakin kokoh. 

Orang kalau punya ilmu kemudian diceramahkan, ilmunya tidak akan habis. Bahkan semakin kokoh dan akan semakin tidak lupa dengan ilmu tersebut. 

Beda dengan harta, kalau harta secara zhahirnya, kalau kita infakkan akan berkurang. 

Oleh karenanya orang yang pelit dengan ilmu lebih parah dari pada orang yang pelit dengan hartanya.

Demikian Ikhwān dan Akhwāt yang dirahmati oleh Allāh, in syā Allāh kita lanjutkan pada kajian berikutnya.

Wallāhu Ta'āla A'lam bishshawab
____________________________

Mari bersama mengambil peran dalam dakwah...
Dengan menjadi Donatur Rutin Program Dakwah Cinta Sedekah

1. Pembangunan & Pengembangan Rumah Tahfizh 
2. Support Radio Dakwah dan Artivisi
3. Membantu Pondok Pesantren Ahlu Sunnah Wal Jamaah di Indonesia

Silakan mendaftar di : 
http://cintasedekah.org/ayo-donasi/

*Hidup Berkah dengan Cinta Sedekah*
🌎www.cintasedekah.org
👥 https://web.facebook.com/gerakancintasedekah/
📺 youtu.be/P8zYPGrLy5Q
------------------------------------------

Akhlak Yang Buruk dan Al Bukhl/Pelit (Bagian 1)

Akhlak Yang Buruk dan Al Bukhl/Pelit (Bagian 1)


🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 06 Rabi'ul Akhir 1438 H / 04 Januari 2017 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA
📗 Kitābul Jāmi' | Bab Peringatan Terhadap Akhlak-Akhlak Buruk
🔊 Hadits 18 | Akhlak Yang Buruk dan Al Bukhl/Pelit (Bagian 1/3)
⬇ Download audio: bit.ly/BiAS-FA-Bab04-H18-1
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ - رضى الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -{ خَصْلَتَانِ لَا يَجْتَمِعَانِ فِي مُؤْمِنٍ: اَلْبُخْلُ, وَسُوءُ اَلْخُلُقِ } أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَفِي سَنَدِهِ ضَعْفٌ. 

_Dari Abū Sa'id Al Khudri radhiyallāhu Ta'āla 'anhu beliau berkata, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:_

_"Dua perangai yang tidak akan terkumpulkan pada seorang mu'min yaitu pelit dan akhlak yang buruk."_

_Hadīts ini diriwayatkan oleh Imām At Tirmidzi dalam sanadnya ada kelemahan._

(HR Tirmidzi nomor 1885 versi Maktabatu al Ma'arif nomor 1962)
➖➖➖➖➖➖➖

AKHLAK YANG BURUK DAN AL BUKHL/PELIT (BAGIAN 1/3)


بسم اللّه الرحمن الرحيم 
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله


Ikhwān dan Akhawāt shahābat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, kita masuk pada hadīts yang ke-18.

Kata Al HafizH Ibnu Hajar:

وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ - رضى الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -{ خَصْلَتَانِ لَا يَجْتَمِعَانِ فِي مُؤْمِنٍ: اَلْبُخْلُ, وَسُوءُ اَلْخُلُقِ } أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَفِي سَنَدِهِ ضَعْفٌ. 

_Dari Abū Sa'id Al Khudri radhiyallāhu Ta'āla 'anhu beliau berkata, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:_

_"Dua perangai yang tidak akan terkumpulkan pada seorang mu'min yaitu pelit dan akhlak yang buruk."_

_Hadīts ini diriwayatkan oleh Imām At Tirmidzi dalam sanadnya ada kelemahan._

(HR Tirmidzi nomor 1885 versi Maktabatu Al Ma'arif nomor 1962)

Hadīts ini diriwayatkan juga oleh Al Imām Bukhāri dalam Adabul Mufrad dan juga Tirmidzi namun dalam sanadnya ada Shadaqah bin Mūsā. 

⇒Shadaqah bin Mūsā adalah seorang rawi yang dhaif. Dan semua sanad-sanad kembali kepada (melalui jalur) Shadaqah bin Mūsā.

Shadaqah bin Mūsā, bila dia bersendirian (tidak ada yang menyertainya) dalam periwayatan maka hadītsnya menjadi lemah. 

Ikhwān dan Akhawāt BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla. 

Dua perangai yang dicela oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam yang tidak mungkin terkumpulkan pada seorang mu'min yaitu: 

⑴ Pelit
⑵ Akhlaq yang buruk

Dan perkataan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, "Tidak terkumpulkan pada seorang mu'min,"  maksudnya adalah penafian (peniadaan).

Tatkala kita mendapati  nash-nash yang ada penafian maka yang pertama kali kita bawakan adalah kepada nafiyul wujud (ke-ada-an).

Setelah nafiyul wujud tidak memungkinkan, maka kita bawakan kepada nafiyul shihah (ke-sah-an). Dan bila nafiyul syaikhah tidak memungkinkan maka kita bawa kepada nafiyul kamal (kesempurnaan). 

Kita sekarang kita coba bawakan kepada nafiyu al wujud, dua perkara yang tidak terkumpulkan pada seorang mu'min

Tapi kenyataan yang kita dapati, ada seorang mu'min yang pelit dan juga dia berakhlak buruk.

Kalau begitu laa di sini adalah laa tasyami'an. Tidak mungkin dibawakan kepada nafiyul wujud (peniadaan wujudnya), karena wujudnya ada. Ada seorang mu'min yang berakhlak buruk dan juga pelit. 

Kalau kita coba bawa kepada nafiyul shihah, tidak akan terkumpulkan pada seorang mu'min. 

Tapi didapati ada seorang mu'min yang imānnya benar (sah) namun dia berakhlak buruk atau dia pelit.

Oleh karenanya bila makna laa tidak bisa kita bawa dua penaf'an ini maka kita bawakan pada makna Laa, penafi'an yang ketiga yaitu penafi'an kamal (kesempurnaan). 

Artinya kita artikan hadīts ini, "Tidak sempurna imān seseorang kalau dalam dirinya masih ada sikap pelit dan juga akhlak yang buruk."

Imānnya benar, seorang mu'min, tapi tidak sempurna, karena dalam dirinya ada perangai yang menyebabkan Imānnya tidak sempurna, (yaitu) perangai pelit dan akhlak yang buruk.

Sahabat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla. 

Ada beberapa poin yang bisa kita ambil dari hadīts ini, diantaranya: 

√ Bahwasanya celaan terhadap الْبُخْلُ, sifat pelit, 

Sifat pelit termasuk akhlak yang buruk namun dia disendirikan penyebutannya, bahkan didahulukan. 

الْبُخْلُ وَسُوءُ الْخُلُقِ

_"Pelit dan akhlak yang buruk."_

Tatkala disebutkan secara bersendirian, bukhl (pelit) ini menunjukan bahwasanya pelit adalah perangai yang sangat buruk. Akhlaq yang sangat buruk banyak, diantaranya pelit ini. 

Oleh karenanya di Al Qurān banyak sekali dalīl-dalīl yang menjelaskan akan buruknya atau celaan terhadap sifat pelit ini. 

Seperti firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla dalam surat Al Haqqah: 34 dan surat Al Mā'ūn: 3: 

وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ

_"Mereka tidak mengajak orang untuk memberi makan kepada faqir miskin."_

Tidak mengajak orang untuk bersedekah. Karena dia sendiri tidak suka bersedekah, sehingga tidak menyuruh orang untuk bersedekah. 

Demikian juga orang-orang penghuni neraka, diantara sifat mereka, kata mereka: 

وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ

_"Kami dahulu tidak memberi makanan kepada faqir miskin."_

 (QS Al Muddatstsir: 44)

Allāh juga mengatakan: 

 وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى (٨) وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى (٩)

_"Adapun orang yang bakhil (pelit) dan merasa cukup, dan mendustakan pahala yang terbaik (hari akhirat)."_

(QS Al Lail: 8-9)

Kemudian kata Allāh Subhānahu wa Ta'āla: 

الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ 

_"Yaitu orang-orang yang mereka bakhil dan mereka menyuruh orang lain untuk berbuat bakhil seperti mereka."_

(QS An Nisā': 37)

Ini perkara yang sangat menakjubkan. Kalau kita baca pada perkataan Al Imām Asy Syaukani dalam tafsir Fathul Qadir, beliau menjelaskan bagaimana buruknya orang-orang seperti ini. 

Mereka sudah pelit, mereka tidak mau mengeluarkan hartanya, anehnya juga mereka ingin orang lain pelit, karena kata Allāh: 

الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ

_"Mereka sendiri bakhil dan mereka menyuruh orang untuk bakhil seperti mereka."_

(QS An Nisā': 37)

Seakan-akan mereka merasa tidak tentram kalau mereka melihat ada orang yang rajin bersedekah. Mereka ingin orang-orang tercela seperti dia.

Tatkala semuanya bakhil maka mereka tidak tercela. Tapi kalau mereka pelit sementara orang lain tidak pelit, maka mereka merasa rendah. 

Ini fitrah mereka melakukan hal itu, sehingga mereka menyuruh orang lain untuk bakhil seperti mereka agar mereka tidak tercela.

Ini menunjukan buruknya tabi'at orang yang bakhil (pelit), tidak tentram kalau ada orang yang bersedekah. 

Padahal kalau ada orang yang bersedekah bukanlah urusan dia. Kalau orang lain bersedekah itu harta orang lain (bukan) harta dia, lalu kenapa dia harus pusing? Kecuali jika harta dia yang berkurang. 

Ikhwān dan Akhawāt BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

In syā Allāh kita lanjutkan pada kajian berikutnya. 

Wallāhu Ta'āla A'lam bishshawab.
____________________________

Mari bersama mengambil peran dalam dakwah...
Dengan menjadi Donatur Rutin Program Dakwah Cinta Sedekah

1. Pembangunan & Pengembangan Rumah Tahfizh 
2. Support Radio Dakwah dan Artivisi
3. Membantu Pondok Pesantren Ahlu Sunnah Wal Jamaah di Indonesia

Silakan mendaftar di : 
http://cintasedekah.org/ayo-donasi/

*Hidup Berkah dengan Cinta Sedekah*
🌎www.cintasedekah.org
👥 https://web.facebook.com/gerakancintasedekah/
📺 youtu.be/P8zYPGrLy5Q
------------------------------------------

Larangan Mendebat Sesama Muslim

Larangan Mendebat Sesama Muslim

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 05 Rabi'ul Akhir 1438 H / 03 Januari 2017 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA
📗 Kitābul Jāmi' | Bab Peringatan Terhadap Akhlak-Akhlak Buruk
🔊 Hadits 17 | Larangan Mendebat Sesama Muslim
⬇ Download audio: bit.ly/BiAS-FA-Bab04-H17
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

LARANGAN MENDEBAT SESAMA MUSLIM


بسم اللّه الرحمن الرحيم 
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Ikhwān dan Akhawāt yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla. 

Kita masuk pada hadīts yang ke-17 dari bab tentang Peringatan Terhadap Akhlak-Akhlak yang buruk. 

وَعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -{ لَا تُمَارِ أَخَاكَ, وَلَا تُمَازِحْهُ, وَلَا تَعِدْهُ مَوْعِدًا فَتُخْلِفَهُ } أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ بِسَنَدٍ فِيهِ ضَعْفٌ.

3 - ضعيف. رواه الترمذي (1995) وفي سنده ليث بن أبي سليم.


_Dari Ibnu 'Abbās radhiyallāhu 'anhumā, beliau berkata, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:_

_"Janganlah engkau mendebat saudaramu dan janganlah engkau mencandainya dan janganlah engkau berjanji kepadanya dengan satu janji yang engkau akan menyelisihinya."_

Hadīts ini diriwayatkan oleh Tirmidzi dengan sanad yang dhaif oleh karenanya Al Hafizh Ibnu hajar berkata: 

أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ بِسَنَدٍ فِيهِ ضَعْفٌ

_Hadīts diriwayatkan oleh Tirmidzi dengan sanad yang lemah._

Karena diriwayatkan dari jalan Laits bin Abi Sulaym. 

⇒ Laits Abi Sulaym adalah perawi yang lemah, oleh karenanya didhaifkan oleh para Imām, seperti Imām Ahmad dan yang lainnya.

Dan kita tahu bahwasanya Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullāh dalam kitābnya Bulūghul Marām, tidak mempersyaratkan harus menuliskan hadīts yang shahīh saja, tetapi beliau mengumpulkan dalam bukunya ini hadīts yang shahīh dan juga hadīts yang dhaif.

Dan fil ghalib (secara umum), biasanya kalau ada hadīts yang dhaif beliau menjelaskan (ingatkan) bahwasanya ini hadits yang lemah. Sebagaimana dalam hadīts ini beliau mengatakan bahwa hadītsnya sanadnya lemah. 

Namun para ulamā menjelaskan bahwa hadīts ini meskipun secara sanad dia lemah akan tetapi maknanya benar dan didukung oleh hadīts-hadīts yang lain. Banyak hadīts-hadīts yang menjadi sawahid (penguat) makna hadīts ini. 

Contohnya seperti hadīts yang diriwayatkan oleh Imām Bukhāri, Imām Muslim secara marfu', Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 

أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الأَلَدُّ الْخَصِمُ 

_"Orang yang paling dibenci oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla adalah orang yang suka berdebat (paling lihai dalam berdebat)."_

(Hadīts riwayat Bukhāri nomor 2457 dan Muslim nomor 2668)

⇒Tentunya berdebat dalam keburukan. 

Ini menguatkan makna dari hadīts tadi.

Demikian juga larangan-larangan tentang menyelisihi janji yang merupakan sifat orang-orang munafik. Juga banyak hadīts yang berkaitan dengan ini. 

Oleh karenanya hadīts ini meskipun lafalnya secara sanad dhaif tetapi maknanya benar. 

Pada hadīts ini ada tiga adab yang harus diperhatikan, yaitu: 


⑴ Tidak boleh mendebat saudara.

Kata Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, "Jangan engkau mendebat saudaramu."

⇒ Apa yang dimaksud mendebat yang di larang ini? 

Maksudnya adalah berdebat dengan saudara kita yang tujuannya bukan untuk mencapai kebenaran tetapi tujuannya adalah untuk menampakan kesalahan saudara kita. Untuk menunjukan bahwasanya perkataan dia, pendapat dia ada kekeliruan. Dan untuk menunjukan kehebatan kita, sehingga kita terlihat spesial tatkala bisa mengalahkan dia. 

Jadi perdebatan seperti ini bukan mencari kebenaran tetapi dalam rangka untuk mencari kemenangan m, untuk menunjukkan saya yang menang

Maka ini perdebatan yang dilarang oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam. 

Kenapa? 

Karena perdebatan ini hanyalah menimbulkan kejengkelan dan permusuhan.

Adapun kalau perdebatan dalam rangka untuk mencari kebenaran, berdebat dengan adab, menghormati pendapat yang lain, kita dengarkan terlebih dulu apa yang dia sampaikan, setelah kita dengar baru kita komentari maka ini tidak jadi masalah.

Bahkan bukan hanya kepada saudara tetapi kepada ahlul kitāb pun kita boleh berdebat.

وَلا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

_"Janganlah kalian mendebat ahlul kitāb kecuali dengan cara yang baik."_

(QS Al 'Ankabūt: 46)

Bila berdebat dengan ahlul kitāb yang bukan saudara kita, debatlah dengan cara yang terbaik, kata Allāh Subhānahu wa Ta'āla, apalagi dengan berdebat dengan saudara kita. 

Oleh karenanya, lihatlah orang yang suka berdebat (dalam rangka untuk memenangkan dirinya), kebanyakan orang seperti ini tidak disukai oleh orang-orang (ditinggalkan oleh orang-orang). 

Kenapa? 

Karena isinya hanya berdebat, sukanya hanya berjidal. Kalau kita bertemu dengan orang seperti ini hendaknya kita tinggalkan orang tersebut.

Kemudian, bila kita berdialog dengan saudara kita dan niat kita adalah untuk mencapai kebenaran, kalau kita lihat saudara kita ternyata tidak sedang mencari kebenaran (ingin memenangkan dirinya untuk menguatkan pendapatnya) maka hendaknya kita tinggalkan debat. 

Dan kita ingat hadīts Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِى رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا 

_"Aku menjamin istana dipinggiran surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan meskipun dia di atas kebenaran."_

(Hadīts riwayat Abū Dāwūd no 4800 dengan sanad yang hasan)

Oleh karenanya, tatkala kita berdialog dengan saudara kita dan bila saudara kita mulai mengangkat suara, meskipun niat kita untuk mencari kebenaran, lebih baik kita tinggalkan.

Karena meskipun kita yang menang dalam perdebatan tersebut, setelah dialog itu selesai  yang tersisa adalah kebencian dan dendam.

Akan tetapi bila saudara yang mengajak kita berdebat ternyata beradab maka tidak mengapa kita mendebati dia dengan cara yang baik. 


⑵ Larangan untuk bercanda.

Kita tahu bahwasanya larangan tersebut tidak secara mutlak karena canda itu ada dua, yaitu: 

√ Canda yang terpuji.
√ Canda yang  tercela/dilarang.

① Canda yang terpuji

Canda  yang terpuji, yaitu canda  tidak terlalu sering dan bertujuan agar lebih dekat dengan saudara kita, untuk memasukan kesenangan dalam dirinya, maka ini tidak mengapa. 

Karena Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam juga mencandai para shahābatnya, sebagaimana para shahābat mengatakan:

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ تُدَاعِبُنَا 

_"Ya Rasūlullāh, engkau mencandai kami?"_

قَالَ  " إِنِّي لاَ أَقُولُ إِلاَّ حَقًّا "

_Kata Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam: " Benar, namun aku tidak bercanda kecuali dengan perkataan yang benar."_

(Hadīts riwayat Tirmidzi no 1990)

Jadi bercanda boleh, bagus, terpuji dan dilakukan juga oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, namun tidak sering dan juga dengan perkataan yang benar.

② Candaan yang dilarang

Adapun candaan yang dilarang, yaitu bercanda yang terlalu sering,  sehingga setiap bertemu bercanda. Maka akan hilang haibah (kharismatik)nya sehingga orang tidak mau mendengar lagi pendapatnya. 

Pendapatnya akan dianggap candaan. Sehingga bila dia memiliki ide tidak akan diperhatikan, karena dia suka bercanda. 

Kemudian yang berkaitan dengan hadīts ini adalah candaan yang bisa menyakiti saudara kita. 

Sebagaimana di awal disebutkan dilarang seseorang mendebat saudaranya karena dikhawatirkan menimbulkan permusuhan demikian juga canda. 

Canda juga terkadang berlebihan. Terkadang menurut kita tidak mengapa tapi menurut saudara kita masalah, sehingga dia tersinggung dan kita menganggu dia. 

Adapun bercanda dengan penuh iktiram dengan tetap menghormati saudara kita, becanda sesekali dan berusaha menyenangkan hatinya, maka ini bercanda yang terpuji dan ini bisa mendekatkan seseorang dengan saudaranya. 


⑶ Larangan menyelisihi janji

Jangan engkau berjanji kepada saudaramu dengan janji yang akan engkau selisihi. 

Dan kesimpulan masalah janji, janji itu dilarang jika seseorang berjanji dan dia sudah niatkan untuk menyelisihi karena ini sifat orang-orang munafik.

Dalam hatinya dia sudah bertekad untuk menyelisihi janji tersebut. 

⇒Ini tercela dan sifat orang munafik. 

Adapun bila seorang berjanji dan dia sudah niatkan untuk menepati janji tersebut, namun qadarullāh dia tidak mampu atau dia mampu tapi berubah pendapat, misalnya karena ada maslahat yang lebih besar sehingga dia tinggalkan janji tersebut, maka ini bukan ciri orang munafik. 

Kenapa? 

Karena sejak awal orang tersebut sudah ingin menepati janjinya, tetapi tatkala melihat ada perubahan kondisi maka dia tidak menepati janjinya dengan alasan yang syar'i. 

Kecuali, kata para ulamā, apabila dalam penyelisihan janji tersebut memberikan kemudharatan kepada orang yang dia janji, maka dia harus menepati janji atau dia menanggung kerugian orang tersebut. 

Contohnya: 

⇒ Seseorang berjanji kepada saudaranya, misalnya:

"In syā Allāh saya akan bayari engkau umrah bulan depan."

Kemudian saudaranya ini sudah siap-siap (misalnya) membuat pasport dan lain-lain. 

Qadarullāh, orang yang berjanji untuk mengumrahkan saudaranya ini tidak bisa memenuhi janjinya. Sehingga saudaranya ini rugi karena sudah mempersiapkan keperluan umrah, seperti menyiapkan pasport dan yang lainnya.

Maka dia (yang telah berjanji) wajib untuk menepati janjinya atau mengganti kerugian yang sudah dialami oleh saudaranya tersebut. 

Demikianlah Ikhwān dan Akhawāt yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, adab seseorang dalam bergaul.

√ Jangan sampai berdebat dengan saudaranya sehingga menimbulkan kebencian diantara mereka.
√ Jangan pula mencandainya secara berlebihan sehingga timbul hal-hal yang tidak diinginkan.
√ Jangan berjanji dengan janji yang akan diselisihi. 

Wallāhu Ta'āla A'lam bish shawwab.
____________________________

◆ Mari bersama mengambil peran dalam dakwah...
Dengan menjadi Donatur Rutin Program Dakwah Cinta Sedekah

1. Pembangunan & Pengembangan Rumah Tahfizh 
2. Support Radio Dakwah dan Artivisi
3. Membantu Pondok Pesantren Ahlu Sunnah Wal Jamaah di Indonesia

Silakan mendaftar di : 
http://cintasedekah.org/ayo-donasi/

*Hidup Berkah dengan Cinta Sedekah*
🌎www.cintasedekah.org
👥 https://web.facebook.com/gerakancintasedekah/
📺 youtu.be/P8zYPGrLy5Q
------------------------------------------