Laman

MENGELOLA HARTA ALLAH TANPA HAK



🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 08 Muharram 1438 H / 10 Oktober 2016 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA
📗 Kitābul Jāmi' | Bab Peringatan Terhadap Akhlak-Akhlak Buruk
🔊 Hadits 12 | Mengelola Harta Allāh Tanpa Hak
⬇ Download audio: bit.ly/BiAS-FA-Bab04-H12
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

MENGELOLA HARTA ALLĀH TANPA HAK

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الل


Kita lanjutkan hadits berikutnya.

َوَعَنْ خَوْلَةَ اَلْأَنْصَارِيَّةَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا- قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِنَّ رِجَالاً يتخوَّضون فِي مَالِ اَللَّهِ بِغَيْرِ حَقٍّ فَلَهُمْ اَلنَّارُ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ )  أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ


Dari Khaulah Al Anshariyyah radhiyallāhu 'anha, ia berkata Rasulullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 

_”Sesungguhnya beberapa orang mengelola (mengatur) harta Allāh tanpa hak, maka bagi mereka neraka pada hari kiamat."_

(HR Bukhari)


Ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla,

Kalimat يتخوَّضون diambil dari kalimat _al khaudh_, dan _al khaudh_ asalnya adalah _al masyyu fil ma’_ (berjalan di air).

Maksud:  إِنَّ رِجَالاً يتخوَّضون  adalah, ”Sesungguhnya beberapa orang, mereka  mengelola (mengatur)."

Kalimat ”berjalan” ini kemudian digunakan juga dengan maksud ”tenggelam dalam pengaturan” yaitu mengelola harta Allāh, tanpa kebenaran. 

Pengelolahan harta di sini maksudnya baik harta sendiri maupun harta orang lain. 

Maka, hadits ini mengingatkan bahwasanya harta yang dimiliki oleh seseorang pada hakikatnya adalah harta Allāh Subhānahu wa Ta'āla. 

Harta tersebut hanyalah titipan. Bahkan meskipun harta tersebut secara zhahir adalah milik sendiri.

Oleh karenanya, Allāh Subhānahu wa Ta'āla tatkala menjelaskan tentang budak-budak yang ingin melakukan _mukatabah_, kata Allāh Subhānahu wa Ta'āla:

_”Dan budak-budak kalian yang hendak melakukan mukatabah (yaitu ingin menebus/memerdekakan diri mereka sendiri dengan bayaran tertentu) maka terimalah keinginan mereka untuk melakukan mukatabah.”_

Saya ulangi, _mukatabah_ adalah sistim di zaman perbudakan yaitu tatkala seorang budak ingin membebaskan dirinya dengan membayar sendiri, kemudian dia sepakat dengan tuannya berapa yang harus dibayar agar dia bisa bebas.

Kata Allāh:

_"Kalau kalian mengetahui mereka (budak-budak kalian) baik maka terimalah perjanjian akad tersebut (akad mukatabah).”_

Kemudian kata Allāh:

_”Dan berikanlah kepada mereka dari sebagian harta Allāh yang Allāh berikan kepada kalian.”_

Allāh mengatakan, ”Harta kalian itu adalah harta Allah maka berikanlah kepada mereka sebagian.”

Ini adalah dalil bahwasanya harta kita adalah harta Allāh dan kita hanya dititipi oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Oleh karenanya, tatkala seseorang meninggal dunia kita mengatakan _innalillahi wa inna ilaihi rajiun_, yaitu kalimat _istirja_, yang artinya: ”Kita ini hanyalah milik Allāh, dan kita akan dikembalikan kepada Allāh.”

Jangankan harta, tubuh kita, nyawa kita, jasad kita adalah milik Allāh dan akan kembali kepada Allāh.

Tatkala kita mengetahui bahwa harta kita dari Allāh, maka kita harus tahu berarti harta adalah titipan dari Allah.

Dan aturannya tatkala ada seorang menitipkan barang kepada orang lain, maka orang lain tersebut (yang dititipi barang) boleh menggunakan barang tersebut tapi sesuai dengan idzin dari pemilik barang yang sesungguhnya (yang menitipkan). Harus sesuai dengan aturan yang menitipkan.

Contohnya Si A menitipkan motor kepada Si B. Maka apakah Si B boleh menggunakan motor tersebut?

Boleh, tetapi dengan peraturan yang dibuat Si A, karena yang memiliki motor sesungguhnya adalah Si A.

Si A misalnya mengatakan, ”Boleh kamu pakai motor tersebut, tapi tidak boleh digunakan macam-macam, isi bensinnya dan rawat.”

Ini berarti Si B berhak menggunakan sesuai aturan penitip.

Demikian pula tatkala harta yang kita miliki adalah harta Allāh Subhānahu wa Ta'āla, maka kita tidak boleh menggunakan harta tersebut, mengelola harta tersebut dengan sembarangan. 

Allāh punya aturan, di antaranya Allāh akan bertanya kepada setiap hamba, ”Di mana kau habiskan harta tersebut? Dimana kau gunakan harta tersebut?"

Tidak boleh seseorang menggunakan seenaknya, kemudian dia dihabiskan kepada perkara-perkara yang haram, perkara yang sia-sia. 

Makanya Allāh menegur, kata Allāh: 

_”Sesungguhnya orang-orang yang mubadzdzir adalah teman-teman syaithan.”_

Tidak boleh menghambur-hamburkan uang yang tidak bermanfaat, tidak boleh.

Allāh mengatakan:

_”Makan dan minumlah tapi jangan berlebih-lebihan.”_ 

Tidak boleh seseorang berlebih-lebihan dalam makan dan minum. Demikian juga dengan membeli makanan yang mahal-mahal sehingga terbuang-buang. 

Ini semua tidak boleh dan ini adalah bentuk mengelola harta Allāh tanpa hak.

Oleh karenanya bagi mereka yang mengelola harta Allāh (harta mereka sendiri yang merupakan titipan dari Allāh) dengan tanpa hak, misalkan dia gunakan pada perkara yang haram, perkara yang sia-sia, menghambur-hamburkan uang, maka mereka terancam dengan neraka Jahannam.

Ini yang pertama.

Yang kedua, dan kebanyakan ulama membawakan hadits ini pada makna yang kedua, yaitu lebih dikhususkan kepada orang-orang yang mengolah harta negara (harta orang lain, bukan harta dia) atau harta rakyat.

Karena pada hakikatnya para pemimpin dan para pejabat, mereka sedang mengelola harta rakyat, bukan harta mereka. Apalagi jika harta tersebut diperoleh dari zakat atau dari pajak misalnya.

Jika dipraktekkan di negara kita, jelas harta ini milik rakyat, paling tidak kita katakan milik negara. 

Karena harta tersebut adalah titipan Allāh maka harus dikelolah demi kebaikan dan kemaslahatan kaum muslimin. 

Barang siapa yang mengelola harta tersebut untuk kepentingan pribadi atau dia mengolah tidak sesuai dengan prosedur, misalkan membuat proyek-proyek ngawur sehingga uang habis begitu saja, atau dia sangka jika uang tersebut habis tidak akan dimintai pertanggungjawaban, maka kata Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:

_”Bagi mereka neraka Jahannam.”_


Maka seseorang hendaknya berhati-hati tatkala diberi amanah untuk mengurus harta rakyat, untuk mengurus uang negara. 

Setiap uang yang dia urus tersebut akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Dia harus mengelola uang tersebut demi kemaslahatan negeri dan kemaslahatan rakyat. 

Contoh bentuk mengelola harta Allāh dengan tidak benar, seperti membeli barang untuk kepentingan negara dengan harga yang murah supaya cepat diganti, dengan begitu ada proyek baru. 

Seperti ini haram, tidak boleh. 

Kalau dia ingin membeli barang untuk kepentingan negara harus membeli barang yang terbaik, yang tahan lama, meskipun mahal.

Jika tidak demikian maka mereka ini akan dimintai pertanggung jawabannya oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, karena mengelola harta dengan tidak sebagaimana mestinya.

Dan kata Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:

_”Bagi mereka neraka Jahannam.”_


Wallāh Ta'āla A’lam bish Shawab
____________________________
Info Program Cinta Sedekah Bulan ini :
1. Pendirian Rumah Tahfidz di 5 Kota 
2. Membantu Operasional Radio Dakwah di 3 Kota

📦 Salurkan Infaq terbaik anda melalui 
| Bank Syariah Mandiri Cab. Cibubur
| No. Rek : 7814500017 
| A.N : Cinta Sedekah (infaq)
| Konfirmasi Transfer : 
+62878-8145-8000

*_Hidup Berkah dengan Cinta Sedekah_*
🌎www.cintasedekah.org
📺 youtu.be/P8zYPGrLy5Q
------------------------------------------