Ghibah (bagian 2)
🌍 BimbinganIslam.com
Kamis, 12 Muharram 1438 H / 13 Oktober 2016 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA
📗 Kitābul Jāmi' | Bab Peringatan Terhadap Akhlak-Akhlak Buruk
🔊 Hadits 14 | Ghibah (bagian 2)
⬇ Download audio: bit.ly/BiAS-FA-Bab04-H14-2
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
GHIBAH (BAGIAN 2)
بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله
Ikhwan dan akhwat, kita masih pada hadits yang 14 tentang ghibah. Dan kali ini kita akan membahas kondisi-kondisi dimana diperbolehkan ghibah.
Ketauhilah bahwasanya ghibah hukumnya haram kalau tujuannya hanya sekedar untuk mencela dan menghina orang lain dan merendahkan orang lain.
Tetapi kalau dalam ghibah tersebut ada kemaslahatan, baik kemaslahatan berkaitan dengan banyak orang atau sebagian orang atau terhadap individu tertentu maka ini diperbolehkan bahkan dianjurkan.
Oleh karenanya, para ulama menyebutkan ada beberapa hal yang dibolehkan ghibah sebagaimana disebutkan dalam sebuah sya'ir, bahwasanya pencelaan bukanlah ghibah dalam enam perkara, yaitu:
1. Orang yang mengadu karena dia dizhalimi dan dia ingin terhilangkan kezhalimannya.
2. Orang yang ingin memperkenalkan seseorang orang yang mungkin memiliki sifat tertentu.
Dengan mengatakan orang yang buta atau orang yang pendek misalnya, bukan untuk mencela tapi dalam untuk mengenalkan siapa orang tersebut.
3. Orang yang menyebutkan keburukan dalam rangka untuk memperingatkan bahayanya seseorang atau memperingatkan bid'ahnya seseorang.
4. Orang yang menampakkan kefasikannya, kemaksiatannya, bid'ahnya secara terang-terangan.
Maka ini juga boleh di ghibahi.
5. Orang yang minta fatwa yang harus bertanya dan dia menyebutkan masalah yang dia hadapi yang ternyata masalah tersebut berkaitan dengan kejelekan orang lain.
6. Orang yang meminta bantuan dalam rangka untuk menghilangkan suatu kemungkaran.
Ini enam perkara yang disebutkan oleh para ulama yang dibolehkan di dalamnya ghibah.
Kita perinci, ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhanahu wa Ta'ala.
*(1) Orang Yang Mangadu*
Pertama: seorang yang mengadu kepada hakim, qadhi, polisi atau kepada penguasa karena dizhalimi.
Dia mengadu kepada orang yang menurut persangkaan dia bisa menghilangkan kezhaliman tersebut.
Tatkala itu dia harus ghibah. Kalau ditanya siapa yang menzhalimi dirinya, dia harus sebutkan bahwa Si Fulan telah menzhaliminya.
Maka dalam kondisi ini dia boleh menghibah, karena dalam kondisi darurat.
Dan kita punya kaidah:
"الضرورات تبيح المحظورات"
_"Dalam perkara yang darurat bisa menghalalkan perkara yang terlarang."_
Sebagaimana seorang yang dalam kondisi lapar, tidak ada makanan kecuali daging babi atau daging bangkai, maka dia boleh makan daging tersebut. Karena kalau dia tidak makan dia akan meninggal dunia.
Jadi demikian juga dengan ghibah.
Pada enam perkara yang di perbolehkan ghibah, semuanya dalam perkara darurat dan ada maslahatnya.
*(2) Orang Yang Minta Fatwa*
Jadi kalau ada seorang datang ke ustadz minta fatwa, kemudian dia bercerita sedang ada masalah.
Akan lebih baik memang jika bisa hanya dengan memberi isyarat dengan mengatakan, "Bagaimana hukumnya jika seseorang yang istrinya demikian dan demikian."
Atau seorang wanita bertanya bagaimana hukum seorang wanita yang suaminya demikian dan demikian.
Namun kalau mau menjelaskan dengan detail dengan menyebutkan orangnya secara juga tidak jadi masalah. Karena bisa jadi ustadz yang dimintai fatwa atau ulama yang diminta fatwa mempunyai pandangan tersendiri tatkala dia mengetahui yang menghadapi masalah ternyata si penanya langsung.
Apalagi dia mengenal betul suami dari wanita yang mengadu tersebut atau dia mengenal betul istri dari suami yang mengadu tersebut.
Seandainya bisa di sembunyikan namanya, maka itu lebih baik.
Namun terkadang menjelaskan dengan detail akan lebih maslahat agar fatwanya lebih jitu dan lebih baik.
Dalilnya, perkataan Hindun bintu Utbah, yaitu istri dari Abu Sufyan radhiyallāhu 'anhu. Hindun bintu Utbah pernah mengadu minta fatwa kepada Nabi shallallāhu 'alaihi wasallam, beliau berkata:
يا رسول الله إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ، فَأَحْتَاجُ أَنْ آخُذَ مِنْ مَالِهِ. قَالَ " خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ ".
_"Ya Rasulullāh, sesungguhnya Abu Sufyan, yaitu suamiku, adalah seorang yang pelit. Apakah tidak mengapa jika aku mengambil dari hartanya yang cukup untuk diriku dan untuk anak-anakku."_
_Maka Rasulullāh shallallāhu 'alaihi wasallam menjawab:_
_"Silahkan ambil dengan cara yang baik dengan cara yang wajar, tidak boleh berlebih-lebihan."_
(HR Bukhari nomor 7180)
Di sini Hindun bintu Utbah sedang mengghibahi suaminya. Dia sebutkan tentang kejelekan suaminya yang pelit.
Dan tidak mengapa dia sebutkan kepada Nabi, karena Nabi tahu betul siapa Abu Sufyan yaitu mertua Nabi shallallāhu 'alaihi wasallam. Karena diantara istri Nabi adalah Ramlah putri Abu Sufyan.
Maka tatkala disebutkan namanya, Nabi langsung tahu karena kenal betul karakter Abu Sufyan.
Sehinga dalam hal ini Hindun bintu Utbah tidak mengapa menjelaskan langsung nama suaminya karena hal itu akan lebih detail dan lebih bermanfaat fatwanya.
*(3) Orang Yang Memperingatkan Keburukan*
Seperti kisah Fathimah bintu Qais radhiyallāhu 'anha. Tatkala dia habis masa iddahnya maka ada dua orang sahabat yang hendak menikahi dia, yaitu Abu Jahm dan Mu'awiyah. Fathimah bintu Qais pun datang kepada Nabi shallallāhu 'alaihi wasallam untuk bertanya akan hal tersebut. Maka Nabi shallallāhu 'alaihi wasallam memberi peringatan:
أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتَقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لاَ مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْ
_"Abu Jahm yang melamar engkau, dia adalah seorang lelaki yang tidak pernah melepaskan tongkatnya dari pundaknya (yaitu suka memukul istri). Adapun Mu'awiyah adalah seorang yang miskin tidak punya harta. Nikah dengan Usamah bin Zaid."_
(HR Muslim nomor 1480)
Di sini Nabi shallallāhu 'alaihi wasallam menyebut keburukan Abu Jahm, dimana diantara sifatnya adalah suka memukul wanita (istrinya).
Rasulullāh shallallahu 'alaihi wasallam juga menyebutkan tentang Mu'awiyah yang diantara keburukannya adalah miskin, tidak punya uang, susah untuk menafkahi istrinya.
Rasulullāh shallallahu 'alaihi wasallam mengghibahi dua orang ini, namun tidak mengapa karena demi kemaslahatan Fathimah bintu Qais.
Jadi ghibah seperti ini diperbolehkan untuk memperingatkan.
Kalau misalnya ada seorang yang datang kepada kita, kemudian berkata, "Bagaimana menurut anda bila lelaki ini melamar anak saya?"
Kalau kita tahu lelaki tersebut buruk, kita kasih tahu, "Jangan, dia begini dan begini."
Atau ada seorang datang kepada kita, kemudian berkata, "Saya ingin bermuamalah dengan Si Fulan, saya ingin kongsi dagang, ingin mudharabah sama Si Fulan, bagaimana menurutmu?"
Maka kita harus berusaha memberikan nasihat yang terbaik bagi dia. Kalau dia buruk maka kita harus peringatkan, kita ghibahi tidak jadi masalah karena ini demi kemaslahatan.
Rasulullāh shallallahu 'alaihi wasallam menyebut keburukkan Abu Jahm dan Mu'awiyah dan ini merupakan ghibah tapi demi kemaslahatan Fathimah binti Qais.
Nah, bagaimana lagi jika terjadi kebid'ahan yang tersebar di masyarakat, kesyirikan atau pemikiran yang menyimpang, maka tidak mengapa jika kita memperingatkan, membantah orang tersebut, mengghibah mereka terang-terangan. Karena demi kemaslahatan banyak orang.
Lebih utama untuk dighibahi karena dalam rangka untuk menjelaskan kepada ummat. Kalau tidak dibantah, tidak dijelaskan kesalahannya, maka tentunya umat akan banyak terjerumus dalam kemudharatan.
Demikianlah, insya Allah kita lanjutkan pada sesi berikutnya.
Wallāhu A'lam bish Shawwab.
____________________________
Info Program Cinta Sedekah Bulan ini :
1. Pendirian Rumah Tahfidz di 5 Kota
2. Membantu Operasional Radio Dakwah di 3 Kota
📦 Salurkan Infaq terbaik anda melalui
| Bank Syariah Mandiri Cab. Cibubur
| No. Rek : 7814500017
| A.N : Cinta Sedekah (infaq)
| Konfirmasi Transfer :
+62878-8145-8000
*_Hidup Berkah dengan Cinta Sedekah_*
🌎www.cintasedekah.org
📺 youtu.be/P8zYPGrLy5Q
------------------------------------------